TUGAS INDERAJA KELAUTAN
SUMARNI
BUTON
NIM
: 2014-64-044
PROGRAM
STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
PATTIMURA
AMBON
2016
GAMBARAN
HISTORI PERKEMBANGAN INDERAJA
PERKEMBANGAN
INDERAJA
- PERKEMBANGAN
SISTEM DAN WAHANA
Penginderaan jauh pada awalnya
dikembangkan dari teknik interpretasi foto udara. Pada tahun 1919 telah dimulai
upaya pemotretan melalui pesawat terbang dan interpretasi foto udara (Howard,
1990). Meskipun demikian, teknik interpretasi foto udara untuk keperluan sipil
(damai) sendiri baru berkembang pesat setelah Perang Dunia II, karena
sebelumnya foto udara lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan militer. Dalam
tiga puluh tahun terakhir, penggunaan teknologi satelit dan teknologi komputer
untuk menghasilkan informasi keruangan (atau peta) suatu wilayah semakin
dirasakan manfaatnya. Penggunaan teknik interpretasi citra secara manual, baik
dengan foto udara maupun citra non-fotografik yang diambil melalui wahana selain
pesawat udara dan sensor selain kamera hingga saat ini telah cukup mapan dan
diakui manfaat dan akurasinya. Di sisi lain, pengolahan atau pemrosesan citra
satelit secara digital telah taraf operasional untuk seluruh aplikasi di bidang
survei-pemetaan.
Hampir bersamaan dengan
perkembangan teknik analisis data keruangan melalui teknologi SIG, kebutuhan
akan citra digital yang diperoleh melalui perekaman sensor satelit sumberdaya
pun semakin meningkat. Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan
beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari
segi harga, periode ulang perekaman daerah yang sama, pemilihan spektrum
panjang gelombang untuk mengatasi hambatan atmosfer, serta kombinasi saluran
spektral (band) yang dapat diatur sesuai dengan tujuan.
Di Indonesia, penggunaan foto udara
untuk survei-pemetaan sumberdaya telah dimulai oleh beberapa lembaga pada awal
tahun 1970-an. Pada periode yang sama, ketika berbagai lembaga di Indonesia
masih belajar memanfaatkan foto udara, Amerika Serikat pada tahun 1972 telah
meluncurkan satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite -
1), yang kemudian diberi nama baru menjadi Landsat-1. Satelit ini mampu merekam
hampir seluruh permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang, dan
dengan resolusi spasial sekitar 80 meter. Sepuluh tahun kemudian, Amerika
Serikat telah meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang
merupakan satelit sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baru
Thematic Mapper yang mempunyai resolusi yang jauh lebih tinggi daripada
pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam saluran spektral pantulan dan 120 meter
pada satu saluran spektral pancaran termal. Pada tahun yang hampir bersamaan
itu pula, beberapa lembaga di Indonesia baru mulai memasang sistem komputer
pengolah citra digital satelit, dan menjadi salah satu negara yang termasuk
awal di Asia Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra digital. Meskipun
demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara berkembang cenderung
tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Memasuki awal sasrawarsa (milenium)
ketiga ini, telah beredar banyak jenis satelit sumberdaya yang diluncurkan oleh
banyak negara. Dari negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang,
dan Rusia, hingga negara-negara besar namun dengan pendapatan per kapita yang
masih relatif rendah seperti India dan Republik Rakyat Cina. Berbagai satelit
sumberdaya yang diluncurkan itu menawarkan kemam-puan yang bervariasi, dari
resolusi sekitar satu meter atau kurang (IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye
milik perusahaan swasta Amerika Serikat), 10 meter atau kurang (SPOT milik
Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang), 15-30
meter (ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+
milik Amerika Serikat, yang sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003), 50
meter (MOS, milik Jepang), 250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang) hingga 1,1 km
(NOAA-AVHRR milik Amerika Serikat).
Banyak negara di Eropa, Amerika
Utara, Amerika Latin, Asia, dan bahkan Afrika telah memanfaatkan citra satelit
itu untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi
bencana alam. Tahun-tahun belakangan ini, negera-negara berkembang seperti
Thailand, Malaysia, Nigeria dan Indonesia pun menyusul untuk meluncurkan dan
mengoperasikan satelit penginderaan jauh berukuran kecil. Sensor-sensor satelit
baru tidak hanya beroperasi pada wilayah multispektral. Saluran pankromatik
dengan resolusi spasial yang lebih tinggi daripada saluran spektral lain pada
sensor yang sama juga dioperasikan oleh berbagai sistem. Sensor aktif seperti
radar juga telah dioperasikan oleh berbagai satelit seperti JERS (Jepang), ERS
dan Envisat (Uni Eropa), Radarsat (Kanada); sementara sistem sensor aktif
berbasis teknologi laser (Lidar) terus dikembangkan untuk memperoleh informasi
ketinggian permukaan kanopi pepohonan dan ketinggian permukaan tanahnya
sekaligus. Sistem satelit Modis, Envisat dan EO-1 juga mengangkut sensor
hiperspektral dengan ratusan saluran spektral untuk memperoleh informasi yang
lebih spesifik mengenai objek, termasuk komposisi kimia mineral dan spesies
organisme.
- PERKEMBANGAN
APLIKASI
Penginderaan jauh sekarang tidak
hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup
aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi
semacam, kerangka kerja (framework ) dalam menyelesaikan berbagai masalah
terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan
kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup
sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas). Gambar 1.4 memberikan
deksripsi visual tentang hubungan antara bidang aplikasi dengan resolusi
spasial (kerincian ukuran atau detil informasi terkecil yang diekstrak) dan
resolusi spasial (kerincian informasi dari sisi frekuensi perekaman atau
observasi ulang).
Penginderaan jauh di awal
perkembangannya berasosiasi dengan aplikasi militer, karena gambaran wilayah
yang dapat disajikan secara vertikal mampu memberikan inspirasi bagi
pengembangan strategi perang yang lebih efektif daripada peta. Efektivitas ini
khususnya menyangkut pemantauan posisi dan pergerakan musuh, serta peluang
penyerbuan dari titik-titik tertentu. Kemajuan teknologi pemotretan yang
melibatkan film peka sinar inframerah dekat juga telah mendukung analisis
militer dalam membedakan kenampakan kamuflase objek militer dari objek-objek
alami seperti misalnya pepohonan.
Penggunaan teknologi foto inframerah akhirnya juga
dimanfa-atkan untuk aplikasi pertanian, khususnya dalam konteks perkiraan
kerapatan vegetasi, biomassa dan aktivitas fotosintesis, karena kepekaan
pantulan sinar inframerah dekat ternyata berkaitan dengan struktur interal daun
dan kerapatan vertikal vegetasi. Foto udara inframerah juga terbukti efektif
pembedaan objek air dan bukan air, sehingga pemetaan garis pantai pun sangat
terbantu oleh teknologi ini.
Dalam perkembangan selanjutnya,
sensor-sensor ini merambah ke wilayah spektra panjang gelombang yang lebih
luas, seperti misalnya inframerah tengah, jauh dan termal, serta gelombang
mikro. Rambahan ini memerlukan jenis sensor dan detektor yang berbeda dengan
kamera, namun sekaligus memperluas bidang aplikasi penginderaan jauh, sehingga
semakin banyak jenis objek dan fenomena yang dapat dikaji melalui citra hasil
perekaman yang diperoleh. Setiap eksperimen yang sukses dengan rancangan sensor
baru kemudian diuji-cobakan dengan wahana yang berbeda, untuk kemudian
dioperasionalisasikan ke sistem satelit, yang mampu melakukan perekaman secara
kontinyu dan sekaligus memiliki cakupan global. Berbeda dari pendahulunya yang
hanya beroperasi dengan kamera dengan hasil perekamana berupa citra analog,
sensor-sensor baru beroperasi dengan sistem opto-elektronik yang lebih maju dan
citra yang dihasilkan pun berformat digital. Beda tinggi orbit, kecepatan
mengorbit dan sistem teleskop maupun sistem opto-elektronik detektor akhirnya
juga menentukan resolusi temporal, resolusi spasial serta resolusi spektral
data yang dihasilkan.
- PERGESERAN
PENERAPAN TEKNOLOGI DARI PEMERINTAH KE SWASTA
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika
Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk
memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter
(Jensen, 1996). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era Perang
Dingin. Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera
menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing
adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch ) dan Ikonos (Space Imaging).
Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15
meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan
Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih
tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter
untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi
sekitar 40 cm, meskipun Pemerin-tah Amerika Serikat membatasi distribusi dan
penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.
Pada aras pengguna, semakin banyak
perusahaan swasta yang bergerak di bidang penginderaan jauh. Lingkup kegiatan
ini bukan hanya pada penguasaan pengolahan data awal hingga pemasaran pada
tingkat hulu seperti EOSAT, SpaceImaging dan DigitalGlobe, melainkan juga
penyediaan jasa konsultansi untuk berbagai kegiatan seperti pekerjaan umum,
kehutanan, pembukaan lahan transmigrasi, hingga lahan yasan (real estate ).
Pergesaran ini membawa implikasi pada kemampuan akses data penting kewilayahan
yang sebelumnya hanya dikuasai oleh negara (khususnya militer) ke pihak swasta.
Pertukaran dan jual-beli data resolusi tinggi saat ini semakin sulit untuk
diawasi dan diatur oleh negara, mengingat bahwa lalu lintas data telah dapat
dilakukan secara bebas melalui jaringan internet. Banyak perusahaan pemasaran
data satelit sumberdaya dan cuaca dewasa ini menyediakan fasilitas download
data melalui internet.
- PERKEMBANGAN
TEKNIK ANALISIS
Ketika berbagai negara
berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem komputer untuk pengolahan
citra digital, pemanfaatan produk penginderaan jauh satelit masih berupa citra
tercetak (hard copy ) yang diinterpretasi secara visual atau manual. Teknik
interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh sistem
fotografik, dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang mapan.
Prinsip-prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada citra satelit
yang telah dicetak, dan memberikan banyak informasi mengenai fenomena spasial
di permukaan bumi pada skala regional. Citra-citra satelit yang telah tercetak
ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a) kemudahan analisis regional
secara cepat (karena dimungkinkannya synoptic overview pada satu lembar citra berukuran
60 km x 60 km sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan pemindahan
hasil interpretasi ( plotting ) ke peta dasar, karena tidak memerlukan banyak
lembar dengan skala yang berbeda-beda dan mempunyai distorsi geometri yang
relatif lebih rendah dibandingkan foto udara.
Sejalan dengan
perkembangan teknologi komputer yang semakin pesat dewasa ini di mana banyak
perusahaan telah melakukan downsizing (beralih dari komputer mainframe ke
komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai
kelompok praktisi dan akademisi ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin
besar. Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang
dioperasikan dengan PC dan bahkan komputer jinjing (laptop ). Di sisi lain, berbagai
jenis PC dan laptop saat ini ditawarkan dengan harga yang semakin murah namun
dengan arsitektur prosesor yang semakin canggih dan kemampuan pengolahan maupun
penyimpanan data yang semakin tinggi.
Teknologi SIG
sebenarnya telah dimulai pada akhir tahun 1960-an, antara lain oleh Tomlinson
(Marble dan Pequet, 1990). Kemudian pada dekade 1970-an beberapa negara bagian
di Amerika Serikat telah memulai untuk menerapkan SIG dalam pengelolaan
sumberdaya lahan dan perencanaan wilayah. Pada sekitar tahun 1979, Jack
Dangermond mengawali pengembangan paket perangkat lunak SIG yang sangat
terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi pasar komersia (Rhind et al., 2004).
Setelah itu, puluhan bahkan ratusan macam paket perangkat lunak SIG, yang
sebagian besar di antaranya dioperasikan untuk PC, membanjiri pasar dunia.
Kebutuhan akan fasilitas pengolahan citra digital yang sekaligus dilengkapi
dengan fasilitas SIG telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam analisis
data spasial. Sistem pengolah citra satelit dapat memberikan masukan pada SIG
berupa peta-peta tematik hasil ekstraksi informasi dari citra digital satelit.
Di sisi lain, fasilitas analisis spasial dari SIG mampu mempertajam kemampuan
analisis penglohan citra, terutama dalam hal pemanfaatan data bantu untuk meningkatkan
akurasi hasil klasifikasi multispektral (Jensen, 2005).
- Dari
Multi spektral ke Hyper spektral
Pada awal
perkembangannya, kamera hanya mampu menghasilkan foto hitam-putih. Hal yang
sama diberikan oleh foto yang dipasang pada pesawat udara untuk kebutuhan
pengintaian dalam aplikasi miltiter. Kehadiran film berwarna pun secara cepat
berimbas pada penggunaan yang lebih intensif dalam penginderaan jauh berbasis
foto udara. Ketersediaan film inframerah kemudian mendorong perkembang-an
kamera multisaluran (multiband), yang pada umumnya memuat empat lensa dalam
satu badan kamera, dengan kepekaan yang berbeda-beda untuk wilayah spektral
berikut: biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Tahap ini menandai
perkembangan sistem pemotretan dari yang bersifat unispektral (saluran tunggal)
dan berjulat spektral lebar misalnya dari biru hingga merah ke sistem
pemotretan multispektral. Analisis visual foto udara pankromatik, baik
hitam-putih maupun berwarna pun kemudian bergeser ke analisis multispektral
sederhana, dengan memanfaatkan alat pemadu warna elektrik seperti additive
colour viewer (ACV).
ACV merupakan suatu
antar muka (interface) yang dapat digunakan untuk menampilkan diapositif film
multispektral dengan penyinaran warna primer (merah, hijau dan biru) untuk
masing-masing saluran. Melalui teknik ini, empat saluran yang tersedia dalam
empat frame diapositif dapat disajikan sebagai foto udara komposit warna semu
atau warna asli, tergantung pada pemilihan kombinasi sinar merah, hijau dan
biru pada diapositif saluran yang berbeda-beda. Interpretasi visual atas citra
analog dilakukan di atas kaca tempat memproyeksikan sorotan komposit diapositif
tersebut.
Dengan tersedianya
sistem perekam citra digital, maka citra multispektral pun diolah dengan
komputer, dan setiap kombinasi warna dalam bentuk citra komposit bisa
dihasilkan dengan mudah. Analisis multispektral dapat dilakukan secara lebih
teliti dengan membaca nilai-nilai piksel pada berbagai saluran spektral secara
serentak, untuk diperbandingkan, dikombinasi melalui transformasi, maupun
diekstrak melalui berbagai analisis statistik multivariat yang rumit, di mana
setiap saluran berfungsi sebagai satu variabel informasi spektral. Dari awal
tahun 1970-an hingga saat buku ini ditulis, telah berkembang banyak metode analisis
multispektral, yang dapat dibaca di Adams dan Gilespie (2006), Liu dan Mason
(2008), dan juga Gao (2010).
Kehadiran teknologi
informasi spasial melalui SIG telah memperluas jangkauan analisis citra,
sehingga kemudian berkembanglah metode-metode ekstraksi informasi objek atau
fenomena di permukaan bumi dengan memasukkan data yang bersifat nir-spektral,
sepertu misalnya jenis tanah, bentuklahan, kemiringan lereng, elevasi, dan juga
peta-peta berisi objek-objek spasial lain. Tentu saja, peta-peta ini harus
disimpan dan diproses dalam format data digital. Dengan demikian, perkembangan
metode yang sudah berlangsung sekitar 25 tahun ini kemudian semakin mengarah ke
klasifikasi multisumber. Beberapa tulisan awal yang mengintegrasikan
penginderaan jauh (khususnya pengolahan citra) dan SIG angara lain yang ditulis
oleh Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan dan Richards (1990), Danoedoro
(1993). Sementara tulisan yang relatif baru untuk topik-topik ini, dengan
teknik-teknik yang juga baru, antara lain bisa dijumpai di Weng (2010).
Perkembangan analisis
multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran dan lebar setiap
saluran. Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena di permukaan bumi
dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan dengan lebar setiap
saluran yang hanya beberapa nanometer. Analisis citra semacam ini, yang disebut
dengan spectral cube (kubus spektral) berkembangan dengan pendekatan yang
berbeda, mengingat bahwa metode-metode analisis multispektral tidak akan
efisien dari sisi waktu pemrosesan dan akurasi hasilnya. Tulisan-tulisan van
der Meer dan de Jong (2003) serta Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal
untuk keperluan ini.
- Dari
Per pixel ke Per objek
Perkembangan sistem
penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra-citra digital yang tidak
pernah dibayangkan oleh praktisi di tahun 1980-an, yaitu citra multispektral
dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara. Hal ini
tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan
Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta
mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata.
Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit
Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan
resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView.
Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi
spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya
mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi
spasial 50 cm atau lebih kasar.
Kehadiran citra
resolusi spasial tinggi telah menantang para analis citra untuk mengembangkan
metode ekstraksi informasi tematik yang berbeda dengan klasifikasi
multispektral yang biasa diterapkan pada citra resolusi spasial menengah dan
rendah. Metode ini dikenal dengan nama klasifikasi berbasis objek (object-based
classification ). Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak
diperlakukan seperti foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam
menerapkan klasifikasi multispektral terhadap citra semacam itu. Pada
klasifikasi multispektral citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian
dari objek penutup lahan yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga
hasil klasifikasi cenderung merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan
langsung dengan kategorisasi objek yang dikembangkan dalam klasifikasi
(Danoedoro, 2006). Untuk mengatasi masalah ini, dalam kurun 10 tahun terakhir
mulai berkembang metode klasifikasi berbasis objek, yang memanfaatkan teknik
segmentasi citra (Baatz dan Schappe, 2000; Ranasinghe, 2006; Navulur, 2007).