NAMA : SUMARNI BUTON
NIM : 2014-64-044
BAB III SISTEM PENGINDERAAN JAUH PENGHASIL CITRA DIGITAL
Bidang
penginderaan jauh menggunakan citra sebagai data yang masih perlu
dianalisis dan diinterpretasi untuk menghasilkan informasi
turunan.informasi turunan biasanya berupa peta dan tema isi yang sesuai
dengan kebutuhan kajian.analisis dan interpretasi citra digital tak
dapat melepaskan diri dari sistem yang menghasilkannya. Dalam konteks
studi penginderaan jauh,elektromagnetik,atmosfer,benda dipermukaan
bumi,dan misi sistemnya. Citra digital penginderaan jauh sering
dikaitkan dengan sistem perekaman oleh satelit,airborne scanner,dan juga
pesawat ulang-alik (space shuttle). Hingga saat ini,sistem
satelit dikenal sebagai sistem penginderaan jauh antariksa yang paling
mapan dan mendapat perhatiaan besar untuk dikembangkan menjadi sistem
yang sepenuhnya operasional. Disamping itu,dalam kurang waktu sekitar 30
tahun terakhir , sistem pencitraan digitar melalui wahana pesawat
udara ataupu ruang angkasa telah ditekankan pada pembentuka citra
multispetra dan bakan hipersterral. Oleh karena itu , titik berat
pembahasan adalah sistem satelit penginderaan jauh yang menghasilkan
citra satelit digital multispectral.
3.1 PENELITIAN DI LAPANGAN DAN LABORATORIUM SEBAGAI BASIS PERANCANGAN SENSOR SATELIT
Bagaimana
para pakar merancang sensor untuk satelit sumberdaya? Jawaban atas
pertanyaan ini berakar jauh pada penelitian eksperimental di lapangan
dan laboraturium , kususnya mengenai pola respons spekral objek dalam
berbagai interval panjang gelombang. Uraian berikut ini menjelaskan
tentang spektrum elektromagnetik dan sistem sensor dalam penginderaan
jauh.
3.1.1 Spektrum Elektromagnetik dalam Penginderaan jauh
Sistem
penginderaan jauh bekerja dalam dua domain,yaitu domain spectral dan
domain spasial. Pada perinsipnya setiap benda dengan temperature diatas 0
kelvin memantulkan dan memancarkan gelombang elektronmagnetik.apabila
pada luasan tertentu terdapat beberapa jenis benda maka mesing-masing
benda akan memberikan pantulan dan pancaran elektromagnetik yang dapat
diterima oleh suatu sensor. Dengan demikian,kehadiran suatu benda dapat
dideteksi berdasarkan pantulan atau pancaran elektromagnetik yang
dilakukan oleh benda itu,asal karakteristik pantulan/pancaran
elektromagnetiknya telah diketahui.
Setiap
benda pada dasarnya mempunyai struktur partikekyang berbeda,baik mikro
maupun makro.perbedaan struktur ini memengaruhi pola respons
elektromagnetiknya. Oleh karena itu,pengenalan atas perbedaan respons
elektromagnetik tersebut dapat dijadikan menjadi bagi pembedaan
objek.fisika menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetik terdiri atas
sekumpulan’pita’ (band) atau saluran/kanal dengan wilaya dan julat
panjang gelombang yang berbeda-beda. Tiap wilaya elektromagnetik dengan
julat panjang gelombang tertentu inilah yang disebut dalam spektrum
(jamak = spektral). Contoh sederhana adalah terbiasakanya cahaya putih
yang dilewatkan pada sebuah prisma kaca sehingga terbentuk satu deret
spektral,mulai dari inframerah sampai dengan ultraungu. Setiap wilaya
yang disebut warna adalah suatu wilaya spektrum dengan julat panjang
gelombang tertentu.
Gambar
3.1 sistem penginderaan jauh yang mengambarkan sumber energi, atmosfer
sebagai medium, system pengindra meliputi berbagai wahana, produk data,
proses interpretasi dan analisis, serta produk informasi yang
dimanfaatkan pengguna. Sumber: Lillesand et al. (2008)
Cara
benda bemberikan respons terhadap gelombang elektromagnetik yang
mengenainya berbeda-beda,dari suatu jenis ke jenis lain; dan dari suatu
spektrum ke spektrum yang lain karena tiap objek yang sama ternyata
mempunyai respons yang relative serupa pda tiap spektrum maka respons
elektromagnetik objek sering dinyatakan sebagai respons spectral. Pola
ini dibuat berdasarkan berbagai penekitian dilapangan dan di
laboratorium dengan penempatkan sensor pada berbagai sudut pandang yang
dapat diperhitungkan efeknya terhadap faktor penginaran dan
pantulan.alat yang digunakan adalah sensor cahaya yang disebut spektrum
meter dan spektroradiometer.pada alat ini terdapat pengatur besarnya
panjang gelombang yang dapat masuk melalui sistem lensanya. Disamping
itu,secara otomatis,besarnya fliks cahaya yang masuk akan dicatat,dan
dikonversi baik dalam persen maupun angka digital respons spectral objek
dinyatakan sebagai energi yang mencapai sensor dengan satuan mWcm-2sr‾1µm‾1 (Swain dan Dawis, 1978). Eksperimen dengan spektroradiometer lapangan (kadang kala disebut juga dengan field goniometry,Jensen
2007) juga menerapkan simulasi sudut penyinaran,sudut pantulan,dan
posisi sensor (gambar 3.2 dan 3.3).hasil pengukuran yang telah
dikalibrasi kemudian disajikan dalam bentuk grafik kurva spektral,
seperti yang terjadi pada gambar 3.4.
Mata
manusia adalah sensor alami yang sangat bagus,yang beroperasi pada
spektrum tampak mata. mata beoperasi pada julat atau rentang pajang
gelombang 0,39-0,72 µm. ‘kekurangan’ mata manusia sebagai sensor bahwa
sistem lensa mata tidak dapat melakukan seleksi atas spektrum cahaya
yang masuk sehingga semua energy pada julat spektrum yang lebar ini
masuk bersama.
3.1.1 Pemilihan Spektrum
Berdasarkan
penelitian eksperimental dengan menggunakan spectrometer tersebut,suatu
sistem sensor yang beroperasi pada julat panjang gelombang yang lebih
sempit dapat dirancang. Jumlah dan lebar spektrumnya dapat diatur
sedemikian rupa sehingga citra yang dihasilkan dapat menyajikan
perbedaan oyek yang diinginkan tanah basah dan tanah kering,air keruh
dan air jernih, vegetasi sehat dan vegetasi tak sehat dan sebagiangnya.
Perbedaan
antara spektrometer dengan sensor yang dirancang terletak pada selang
(interval) spektrum yang digunakan dan juga cara operasinya.
Spektrometer untuk penelitian eksperimental biasanya dapat diatur untuk
bekerja dengan interval panjang gelombang yang sangat
pendek/sempit,bahkan sampai kurang dari 0,01 µm. sensor operasional pada
mulanya justru sebaliknya,dirancang untuk beroperasional pada julat
yang tetap,misalnya pada 0,44-0,51 µm; 0,52-0,60 µm; 0,61-0,68 µm; dan
sensor dengan nspectra akan menghasilkan n citra objek yang
sama,namun dengan variasi spektral yang berbeda. Berbagai sensor
hiperspektral dapat dijumpai,yang mampu menghasilkan data pada lebar
spektrum yang sangat sempit dan dengan jumlah saluran spektral yang
sangat banyak.
Gambar
3.2 Goniometri lapangan menggunakan alat spektroradiometer, yang sedang
diterapkan untuk pencatatan pantulan herba (kiri). Ada pula hand-held spectroradiometer yang muda dioperasikan seperti pada gambar kanan (Jensen, 2007)
Gambar 3.3 Prosedur pengambilan informasi spectral sejenis rumput Bahiagrass dengan handheld spectroradiometer. Pengukuran pantulan target harus dibandingkan dengan pengukuran pantulan material acuan Spectralon (Sumber: Jensen, 2007).
Pengukuran dapat dimanfaatkan untuk 3 hal yaitu
a. Memperoleh informasi lebih rinci mengenai perilaku spektral suatu jenis objek,
b. Melakukan kalibrasi data penginderaan jauh,dan
c. Menghasilkan
suatu data spektral yang bersifat unik,untuk memperbaiki kemampuan
ekstrasi informasi dengan menggunakan data multispektral maupun
hiperspektral.
Hasil
pengukuran spektrometri lapangan antara lain berupa kurva spektral
beberapa objek,seperti tersaji di gambar 3.4. untul dapat memberoleh
informasi berupa kurva spektral pada gambar 3.4, pengoperasian
spektroradiometer lapangan memerlukan dua macam informasi,yaitu
(Jensen,2007) :
1. Besarnya radiansi yang dipantulkan pada suatu interval panjang gelombang dari suatu sampel acuan Lr,
2. Besarnya radiansi yang dipantulkan oleh sasaran (target) objek yang akan dianalisis, LT
Berdasarkan
dua macam informasi maka spektrum pantulan pr dapat dihitung dengan
membagi nilai respons spektral sasaran dengan nilai respons spektral
sampel acuan :
pT = LT x k ……………………………………………………………………….
Nilai
k diperoleh dari rasio antara irradiansi matahari terhadap eksitansi
dari material acuan. McCoy (2005) menyebutkan bahwa idealnya nilai k ini
mendekati 1. Salah satu material acuan banyak dipakai untuk Lr, menurut
Jensen (2007) adalah spektralon adalah suatu lembaran yang terbuat dari
resin termoplastik berwarna putih atau abu-abu yang mampu memberikan
pantulan baur yang sangat baik (tingkat difusinya tinggi).
Proses
mental (penhlihatan manusia ) akan dengan mudah dapat spektral yang
terekam sebagai nilai kecerahan; dan juga berdasarkan pola spasialnya.
Namun cara ini kurang efisien,akurat,dan melelahkan, khususnya untuk
liputan wilaya yang luas.bantuan komputer untuk melakukan identifikasi
objek berdasarkan ciri-ciri spektral pada beberapa saluran spektra
sangatlah bermanfaat,inilah yang disebut dengan proses klasifikasi
otomatis.
PANTULAN SPEKTRAL UNTUK BEBERAPA JENIS OBYEK
Gambar
3.4 Pola respons spectral beberapa objek berdasarkan pengukuran dengan
spektroradiometer genggam di lapangan Jensen (2007). Kurva acuan ini
dikumpulkan dengan prosedur pada gambar 3.3.
Pada
proses klasifikasi secara manual,penafsir berusaha membandingkan
kenampakan visual objek berdasarkan rona pada citra. Ukuran objek yang
dapat diamati dibatasi oleh kemampuan mata dan media penggambar (dalam
hal ini ukuran mata pena). Pada klasifikasi multispektral,ukuran objek
dibatasi oleh resolusi spasial, yang secara praktis dinyatakan dalam ukuran piksel.
3.2 DASAR FISIKA PENGINDERAAN JAUH
Konsep-konsep
dasar tentang fisika penginderaan jauh perlu dikemukakan sediki
mendalam karena dengan pemahaman ini proses analisis citra digital
dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Meskipun demikian, cara operasi
sistem penginderaan jauh sebenarnya sangat bervariasi karena tergantung
pada antara lain wahana (platform) yang digunakan,sensor yang
meliputi komponen-komponen optik elektronik dan detektor yang mencatat
respons spektral yang dating dari objek,serta cara analisis datanya.
Sistem penginderaan jauh mempunyai kesamaan dalam hal bekerja dengan
energy elektromagnetik.
3.2.1 Radiasi Elektromagnetik (REM)
Radiasi
Elektromagnetik (REM) ditransmisikan melalui ruang berupa gelombang
sinusoidal. Parametem REM ialah kecepatan rambat gelombang c yang besarnya 2,98 x 106m det‾1, frekuensi f (atau seringkali dinotasikan dengan v) yang mempunyai satuan Hertz, dan panjang gelombang ג, yang mempunyai satuan µm (mikron, 1 µm = 10‾6 meter), nm (nanometer, 1 nm = 10‾9 meter),atau Å (angstrom, 1 Å = 10‾10 meter).
Kecepatan rambat gelombang elektromagnetik dapat diasumsikan tetap
sehingga variasi REM yang digunakan dalam penginderaan jauh tergantung
pada frekuensi v dan panjang gelombang ג.
Ada kovensi bahkan cara menyatakan bagian atau porsi REM dalam
penginderaan jauh ialah dengan menggunakan spektrum panjang gelombang ג.
Semua benda dengan temperature di atas 0 kelvin (-273 0C)
memberikan REM. Benda yang mampu menyerap radiasi secara sempurna dan
memancarkanya disebut dengan benda hitam sempurna (BHS). Benda hitam
adalah benda yang menurut mata manusia sepenuhnya berwarna hitam. Energi
Elrktromagnetik Eג yang dipancarkan oleh suatu benda mempunyai satuan Watt m‾2 Å-1,mengikuti hokum planck sebagai,
dimana :
h = konstanta planck = 6,626196 ⃰ 10‾34 J det
c = 293.000.000 m det‾1
k = konstanta Boltzmann = 1,38 ⃰ 10‾23 J/0
ג = panjang gelombang dalam meter
T = temperatur dalam Kelvin
Pada
umumnya, radiasi energi berbentuk kurva untuk berbagai nilai temperatur
dan hal ini juga menunjukan veriasi besarnya energi yang diradiasikan
sejalan dengan perubahan panjang gelombang. Pada gambar 3.5 terlihat
bahwa jika temperature sumber radiasi naik maka panjang gelombang pada
puncak radiasi energi turun. Jadi,menurut gambar tersebut, permukaan
benda pada temperature 300 K (atau 27 0C) mempunyai puncak radiasi pada panjang gelombang yang lebih besar daripadapermukaan benda dengan temperatur 6000 K (atau 5727 0C).
bagi mata manusia,kenaikan temperature sumber energi akan ditangkap
dengan perubahan warna dari gelap ke merah cerah,kuning, dan kemudian
biru, di mana warna-warna sesuai prinsip bahkan panjang gelombang yang
lebih pendek akan mempunyai energi yang lebih tinggi.
Di
samping itu apabila temperatur sumber radiasi maka jumlah radiasi
energy juga naik. Jumlah total energy yang diradiasikan dari permukaan
benda dapat dihitung dengan mengintegrasikan luas wilaya di bawah kurva.
Dengan demikian, mengacu pada gambar 3.5 tersebut, jumlah radiasi
energi untuk kurva pada temperature 6000 K lebih tinggi dibandingkan
jumlah radiasi energi untuk kurva pada temperature 300 K.
Gambar 3.5 Energi yang diemisikan oleh permukaan benda hitam pada berbagai temperatur benda (Sumber : McCoy, 1995)
Besarnya
panjang gelombang energi puncak yang diradiasikan oleh suatu benda
dapat dijelaskan dengan Hukum Pergeseran Wien sebagai berikut.
Kebanyakan
permukaan benda alami bukanlah pemancar atau radiator yang sempurna.
Karena bukan merupakan pemancar atau radiator sempurna maka setiap benda
mempunyai tingkat efisien sebagai pemancar atau radiator yang
berbeda-beda. Efisiensi permukaan benda Eג ini merupakan fungsi dari emisivitas permukaan, yaitu :
Eג = eג . Eb,ג………………………………………………………..
Dimana :
eג = emisivitas benda pada panjang gelombang ג
Eג = energy yang diemiskan oleh benda pada panjang gelombang
Eb,ג = energi yang diemisikan oleh benda pada panjang gelombang ג
Gambar 3.6 Efek emisivitas energy yang diradiasikan oleh suatu permukaan pada temperature T= 313 k (Sumber: McCloy, 1995)
3.2.2 Radiometri
Konsep radiometri melibatkan beberapa istilah yang
sering dipakai dalam penginderaan jauh berikut ini : (a) energy
radiometri (b) fluks radian, (c) kepadatan fluks radian, (d) irradiansi,
(e) kepadatan fluks radian, dan (f) radiansi dan radiansi spektral.
Energi radiometrik (Q) merupakan suatu ukuran kapasitas radiasi untuk
melakuka kerja, misalnya memanaskan permukaan benda, memindahkan objek,
atau meninmbulkan perubahan kondisi objek. Satua energi radian ialah
Joule (J) atau KiloWatt jam (KWh). Fluks radia (O) merupakan laju aliran
energi persatuan dalam melewati suatu titik. Kepadatan fluks radian (radian flux density,
E atau M) adalah ukuran besarnya fluks radian yang mengalir melewati
suatu luas permukaan tertentu. Kepdatan flukls radian yang mencapai
suatu permukaan disebut dengan irradiansi ( irradiance, E), sedangkan kepadatan fluks radian yang dipancarkan oleh permukaan disebut eksitansi (exitance, M). E dan M mempunyai satuan Watt m⁻².
Intensitas radian merupakan ukuran fluks radian per satuan sudut padat (solid angle)
yang meninggalka sumber berupa titik (lihat Gambar 3.7). energi radian
yang meninggalkan sumber titik dan diradiaksikan ke semua arah akan
mempunyai kepadatan fluks radian yang terus menyusut, meskipun
intensitasnya tidak berkurang.
Gambar 3.7 (a) Intensitas radian dari sumber berupa titik dan (b) radiansi ke suatu area A (Sumber: McCloy, 1995)
Radiansi
(L) merupakan fluks radian per satuan sudut padat yang meninggalkan
suatu sumber yang relative luas kearah tertentu, per satuan luas hasil
dari proyeksi dari sumber tadi. Bila sumber yang relative luas diamati
dengan sensor pada sudut kerucut O maka apabila R meningkat, luas sumber
juga akan meningkat sehingga radiansi L yang mencapai area detector A
akan tetap (konstan), untuk konstan t, sepanjang kepadatan fluksnya juga
konstan terhadap sumber yang relative luas tadi. Semua istilah yang
digunakan dalam radiometri energi elektromagnetik tadi bersifat
tergantung pada panjang gelombang sehingga dalam penggunaan biasanya
istilah tersebut disertai dengan kata ‘spektral’. Misalnya radiansi spectral L, yang mempunyai satuan W m⁻² nm⁻¹.
Energi
yang didistribusikan oleh matahari menyerupai energy spectral yang
didistribusikan oleh benda hitam pada temperature 6000°K. energy yang
didistrubusikan oleh bumi sebenarnya lebih bervariasi, tetapi pada
umumnya menyerupai energy spektral yang didistribusikan oleh benda pada
temperature sekitar 27-30°C atau sekitar 300°K. Radiansi puncak dari
matahari berada pada panjang gelombang sekitar 0,52 µm, yang berarti
berimpit dengan bagian dari spectrum tampak mata yang disebut sinar
hijau. Mata manusia mampu mendeteksi radiasi dari sekitar 0,39 µm (atau
warna biru), kemudian bagian hijau dari spektrum tampak atau sekitar
0,52 µm hingga bagian merah dari spektrum yang mencapai sekitar 0,72 µm.
Dengan demikian, sebenarnya mata manusia diciptakan untuk menjelajahi
panjang gelombang pada radiasi puncak yang dikeluarkan oleh matahari.
3.2.3 Efek Atmosfer
Atmosfer
bersifat transparan terhadap REM, meskipun hanya untuk beberapa bagian
spektra saja. Untuk bagian yang lain, atmosfer justru bersifat opaque (tidak
tembus), sedangkan sebagian besar sisanya bersifat tidak sepenuhnya
transparan. Variasi sifat ini disebabkan oleh adanya hamburan
(scattering) radiasi oleh partikel-partikel dan molekul-molekul
atmosfer, serapan energi yang sering kali berupa serapan rensonansi
molekular, serta emisi radiansi oleh benda atau partikel lain di
atmosfer. Kondisi atmosfer bervariasi secara keruangan dan temporal
sehingga sebenarnya kekuatan hamburan, serapan, dan emisi ini tidaklah
merata atau konstan. Wilayah panjang gelombang yang mengalami perlakuan
ini juga sebenarnya bervariasi.
Penyerapan
menyebabkan penurunan jumlah energi yang mampu menembus atmosfer da
mencapai bumi. Dengan demikian, energi yang mencapai permukaan dan
dipantulkan kembali ke sensor juga sebenarnya telah berkurang jumlahnya.
Wilayah panjang gelombang yang mampu memnbus atmosfer ( baik secara
penuh ataupun sebagian) disebut dengan jendela atmosfer. Hamburan
radiasi sebagian besar terjadi pada panjang gelombang yang relative
pendek disebabkan oleh efek molecular atau biasa disebut dengan hamburan
Rayleigh. Hambura lain pada panjang gelombang yang lebih besar
disebabkan oleh partikel-partikel atmosfer. Bagi mata manusia, hamburan
Rayleigh menimbulkan efek kebiruan pada langit yang jernih. Hamburan Mie
bersifat non-selektif dan dapat terjadi pada berbagai spektrum panjang
gelombang.
Gambar 3.8 konsep radiansi spectral (Jensen, 2007)
Efek
hamburan dan serapan di atmosfer sangat terasa pada penurunan jumlah
energi langsu yang mencapai permukaan bumi. Efek penurunan jumlah energy
langsu ini disebut dengan atenuasi. Besarnya energy yang mencapai suatu
permukaan bumi Eᵢ,λ dengan demikian juga dipengaruhi oleh besarnya transmisivitas (kemudahan untuk ditembus) atmosfer tλ dan juga besarnya radiansi sebenarnya yang bersifat konstan EA,λ. Dengan demikian, hubungan ketiganya biasa dituliskan sebagai berikut.
E і,λ = tλ ES,λ cos s + Eₐ,λ
Dimana :
t λ = rerata transmitasi atmosfer untuk jalur sinar yang mampu menembus atmosfer
ES,λ = radiasi matahari pada bagian atmosfer paling atas
s = sudut zenit matahari
Eₐ,λ = radiansi spectral atmosfer
λ = panjang gelombang (dalam nanometer)
Pantulan
spektral (spectral reflectance), Rλ, pada permukaan didefenisikan
sebagai nisbah atau rasio antara energi yang dipantulkan terhadap
energi yang dating; sedangkan radiansi spektral Lλ yang dipantulkan dari
permukaan dipengaruhi oleh besarnya irradiansi yang datang Eɪλ. Dengan
demikian, radiansi spektral Lλ dapat dirumuskan sebagai berikut.
Radiansi
dari permukaan kemudian mengalami atenuasi lebih lanjut selama
transmisi ke sensor karena adanya pengaruh transimisivitas atmosfer,
serta memperoleh komponen tambahan dari hamburan atmosfer. Energi yang
mencapai sensor ini dilambangkan dengan Eο,λ dan mengikuti rumus sebagai berikut.
Eο,λ = tλ’x Lλ + EΑ,λ’ …………………….(3.7)
Dimana:
tλ’ = rerata transmitansi atmosfer untuk jalur sinar dari permukaan benda ke sensor
EΑ,λ’ = radiansi atmsofer yang datang mencapai sensor dari arah permukaan benda
Energi Eο,λ
yang mengenai system optik sensor akan mengalami modifikasi atau
perubahan karena efisiensi optik sensor (eλ) dalam mengtransmisikan
energy melalui optik ke detektor. Energi yang mengaktifkan detektor pada
sensor dirumuskan sebagai berikut.
Ed,λ = eλ x Eο,λ ………………………..(3.8)
Dengan mensubsitusi rumus (3.4), (3.5), (3.6), ke rumus (3.7), maka energi yang mengaktifkan detektor dapat dituliskan demikian.
Ed,λ = eλ [ tλ’ { rλ’ (tλ Es,λ cos + EA,λ)/ } + EA,λ ]
= { rλ tλ’ Es,λ cos + rλ tλ’ EΑ,λ + EΑ,λ’ } (3.9)
Rumus (3.9) memuat 8 variabel yang tak diketahui, dimana yang satu terkait dengan sensor (eλ), empat terkait dengan emisivitas atmosfer (t λ’ tλ) atau radiansi (Ea,λ’ , Ea,λ), dua berhubungan dengan radiansi matahari yang datang (Es,λ , s ), dan hanya satu yang terkait dengan karakteristik permukaan (rλ). Oleh karena itu, dalam praktinya persamaan ini sering kali disederhanakan sebagai berikut (McCloy, 1995):
1. Mengganti
radiansi di atmosfer atas dengan irradiansi yang datang pada permukaan
seperti yang diukur dilapang, dengan mengganti persamaan (3.6), (3.7)
dan (3.8) menghasilkan:
Ed,λ = eλ {tλ rλ Ei,λ / + EA,λ’ } ………………….(3.10)
2. Diasumsikan bahwa optik sensor mempunyai efisiensi sempurna sehingga eλ = 1. hasilnya menjadi :
Ed,λ = { tλ rλ Ei,λ + EA,λ’}/ ………………..(3.11)
Sehingga:
Dengan instrumen lapangan, transmisivitas tλ’ dapat diperhitungkan sebagai 1.0 komponen atmosfer EA, λ’ sebesar 0, karena jarak pendek antara instrument dengan target. Dengan demikian, persamaan (3.12) menjadi:
sesuai dengan defenisi pantulan spektral.
Dengan
instrumen lapangan pula, pantula dari permukaan dapatditentukan dengan
mengukur irradiansi yang datang, radiansi yang dipantulkan, dan
menghitung rasio keduanya, sejauh instrument lapangan dilakibrasi
sedemikian rupa sehingga memungkinkan eλ = 1. Untuk sensor wahana udara dan ruang angkasa, efisiensi sensor dipandang sama. Dengan denikian, persamaan (3.13) menjadi:
Apabila radiansi yang datang, radiansi laur atmosfer, dan transmisivitas dianggap konstan selama perolehan data maka:
rλ = C1 Ed,λ + C2 …………………….( 3.15)
Dimana
C1 dan C2 tetap untuk citra. Dengan demikian, model linier ini
merupakan penyederhanaan hubungan antara pantulan, irradiansi yang
datang, dan radiansi yang mencapai sensor.
3.2.4 Interaksi REM dengan Benda
Energi
matahari mengalami atenuasi dan dihamburkan oleh atmosfer sebelum
mencapai permukaan bumi atau penutup lahannya. Dengan demikian, energi
tersebut sebenarnya mengalami tiga macam perlakuan, yaitu pematulan,
penyerapan, dan transmisi. Kondisi ini dirumuskan sebagai berikut:
Ei,λ = E a,λ + E r,λ + E r,λ
= Ei,λ (aλ + rλ + Tλ) …………………(3.16)
→ a λ + r λ + t λ = 1 ……………………….(3.17)
Dimana
E mewakili energy spektral yang diserap, dipantulkan, dan
diransmisikan; sedangkan a, r, dan t berturut-turut adalah serapan,
pantulan, dan transmitasi spektral. Karena sensor penginderaan jauh
terpasang pada jarak yang jauh dari objek maka diantara ketiga komponen
itu dipantulanlah yang langsung berkaitan dengan detektor. Dengan
demikian, pantulan rλ merupakan aspek yang paling penting dalam penginderaan jauh.
Pantulan pada permukaan benda (reflectance at a surface interface)
dapat terjadi dalam bentuk atau cara yang berbeda-beda, tergantung pada
tiga hal berikut ini: (a) sudut datang energy, (b) kekasaran permukaan
sebagai fungsi panjang gelombang, dan (c) materi, karena materi ini
mempengaruhi sudut refraksi dan presentase energi yang dipantulkan,
diteruskan, dan dipantulkan. Semakin halus permukaan, semakin sempurna
pemantulan yang terjadi, seperti pada cermin. Semakin kasar permukaan,
semakin terhambur energi yang dipantulkan, ke barbagai arah. Oleh karena
itu, pantulan pada permukaan sering dikelompokan menjadi dua jenis,
yaitu pantulan sempurna (specular reflection) dan pantulan baur (diffuse atau lambertian reflection). Pada pantulan sempurna, semaki kecil sudut datang energi, semakin kecil pula pemantulan yang terjadi.
Di samping pemantulan pada permukaan, ada pula istilah pantulan dalam permukaan (reflectance within a surface).
Pantulan semacam ini terjadi apabila benda memantulan sebagian energi
dan meneruskan serta menyerap sebagian energi yang lain, kemudian porsi
energi yang diserap atau diteruskan ini dipantulkan oleh kompenen bagian
dalam di benda tersebut. sebagai contoh, spektrum sinar matahari akan
dipantulkan sebagian oleh permukaa daun (pantulan pada permukaan) dan
sebagian lagi diserap oleh pigmen daun, sedangka sisanya dipantulkan
oleh dinding-dinding ruang antar sel didalam daun. Pantulan didalam
permukaan ini disebut juga pantulan dengan pantulan tubuh (body
reflection) (McCloy,1995).
Dalam
kaitannya dengan posisi sumber energi (misalnya matahari), posisi
permukaan benda, dan posisi sensor, dikenal tiga macam pantulan, yaitu
(a) pantulan hemisferis, (b) pantulan direksional, dan (c) pantulan
bidireksional. Pantulan hemisferis terjadi apabila energi (cahaya)
datang dari berbagai sumber (mendekati separuh bola langit atau
hemisfer), begitu pula pantulan ke sensornya. Pantulan direksional
terjadi apabila sumber energi datang dari berbagai arah (seperti halnya
pantulan hemisferis), tetapi hanya pantulan yang langsung kea rah sensor
(direksional) saja yag tercatat atau diperhitungkan. Pantulan
bidireksioal merupakan pantulan yang tercatat oleh sensor pada posisi
atau arah yang berbeda dengan arah datangnya energi.
Pada
pantulan bidereksional, besarnya pantulan yang mencapai sensor sangat
tergantung pada besarnya sudut datang energi, sudut pantul, dan
geometric objek, khususnya apabila permukaan objek tidak bersifat
lambertian. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu ( yang berbeda posisi
mataharinya) dan dari tempat ke tempat, kecerahan atau rona pada citra
untuk objek yang jenisnya sama dapat bervariasi karena adanya perbedaan
pada ketiga komponen tersebut. pantulan hemisferis justru akan sama atau
identik dengan pantulan bidireksional, apabila permukaan pemantul
bersifat lambertian. Dalam hubunganya dengan pengukuran pantulan
dilaboratorium, spectrometer biasanya mengukur pantulan hemisferis;
sedangkan spectrometer lapangan biasanya mengukur pantulan yang
mendekati bidireksional, atau kadang-kadang juga pantulan direksional
apabila kondisi atmosfer berawan.
3.3 SENSOR-SENSOR ELEKTRO-OPTIK UNTUK PENGINDERAAN JAUH
Hingga
saat ini banyak sensor yang digunakan untuk system penginderaan jauh
merupakan sensor sistem pasif, yaitu sensor yang menangakap energi
pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik dari objek,tanpa
mengirim gelombang energi ke arah objek-objek tersebut. sensor-sensor
ini pada umumnya adalah sensor elektro-optik (atau opto-elektronik),
yang mengombinasikan prinsip-prinsip fisika optic dengan mekanisme
piranti elektronik. Penjelasan ini disertai ilustrasi pada Gambar 3.9.
3.3.1 Jenis-jenis Sensor Multispektral Elektri-optik
Mengacu
pada kategorisasi Vincent (1997), pada dasarnya ada tiga macam sensor
pencitra elektro-optik yang digunakan umtuk keperluan komersial (sipil)
dalam pengumpulan data multispectral, yaitu:
1. Skaner multispectral yang beroperasi seperti menyapu seacara melintang (whiskbroom). Lillesand et al. (2008) member istilah acrosstrack scanner untuk
mekanisme semacam ini. Skaner ini memindai dari sisi ke sisi tegak
lurus terhadap jalur lintasan wahana, membentuk garis-garis pelarikan
yang tersusun atas piksel-piksel. Gerak maju wahana yang terkombinasi
dengan gerak sapuan melintang ini menghasilkan baris-baris pelarikan
baru. Sensor-sensor MSS dan TM Landsat, serta GOES dan AVHRR-NOAA
merupakan contoh skaner whiskbroom yang terpasnag pada satelit, sedangkan skaner Daedalus Enterprise merupakan contoh unuk tipe whiskbroom yang dioperasikan dengan pesawat udara.
2. Skaner deret linier (linear array scanner) yang beroperasi seperti sapu dorong (pushbroom)
mengumpulkan informasi pantulan atau pancaran objek dalam bentuk
deretan piksel dalam satu baris sekaligus. Gerak maju wahana dengan
sendirinya akan menghasilkan deretan piksel yang baru, tanpa mekanisme
gerak sapuan melintang. Lillesand et al. (2008) member istilah along-track scanner untuk
tipe ini. Sensor yang menggunakan skaner pushbroom pada wahana satelit
misalnya ialah HRV SPOT milik Perancis dan MOMS milik Jerman, sedangkan
sensor MIES merupaka contoh skaner dari jenis ini yang terpasang pada
pesawat udara.
3. Skaner deret dua dimensional ( area array, atau electronic framing camera) menggunakan deret detektor dua dimensi sperti frame pada film kamera. Selain sensor RBV (retrun beam vidicom)
pada satelit Ladsat generasi pertama, saat ini belum tersedia sensor
pada wahana satelit yang menggunakan skaner dua dimensionl semacam ini.
Semua
tipe sensor elektro-optik tersebut memperkuat sinyal elektromangnetik
yang diterima, kemudian mendigitisasikannya kedalam angka-angka biner
sesuai dengan tingkat kemampuan bit-coding yang dimilikinya ketika masih
berada di wahana. Kemudian, secara digital pula angka-angka ini
ditransmisikan ke stasiun bumi. Gambar 3.9 mengilustrasikan
contoh-contoh skaner yang ada dewasa ini.
3.3.2 Prinsip Pemisahan Berkas Cahaya pada Sensor Multispektral Elektro-optik
Skaner
multispektral memisahkan (membagi) berkas cahaya yang datang pada suatu
wilayah panjang gelombang yang lebar menjadi berkas-berkas dengan lebar
spektra yang lebih sempit.
Gambar 3.9 Jenis-jenis skaner optik (Jensen, 2005)
Menurut
Vincent (1997), piranti yang diperlukan oleh sensor dalam hal in berupa
prisma, filter transmisi, ataupun lensa/cermin dikhroik (dichroic
mirror/grating). Lensa dikhroik mampu meloloskan sinar dengan panjang
gelombang yang lebih besar daripada suatu nilai ambang, dan memantulkan
sinar-sinar yang lain, yang mempunyai panjang gelombang lebih kecil,
atau sebaliknya. Spektra panjang gelombang yang diteruskan maupun yang
dipantulkan ini kemudian ‘ditangkap’ oleh detektor. Prisma
mendispersikan berkas cahaya dengan lebar spektrum yang lebih besar,
menjadi berkas-berkas dengan lebar spektra yang lebih kecil, pada
berbagai wilayah panjang gelombang. Filter transmisi bekerja dengan cara
menapis cahaya dengan spketrum yang lebar sehingga hanya satu berkas
dengan panjang gelombang yang dikehendaki sajalah yang lolos (lihat
Gambar 3.10).
Gambar
3.10 komponen-komponen elektro-optik yang digunakan untuk memisahkan
radiasi elektromagnetik kedalam beberapa wilayah panjang gelombang
(Vincent, 1997).
Keterkaitan
antara tiga macam sistem pemisahan spectrum dan ketiga jenis skaner
yang telah dijelaskan sebelumnya cukup menarik. Menurut Vincent (1997),
pada saat ini telah terdapat tiga macam material unsure/senyawa penyusun
detektor, yaitu silikon (Si) yang cukup bagus untuk wilayah panjang
gelombang 0,4 – 1,4 µm, indium antimonida (InSb) yang peka untuk wilayah
panjang gelombang 1,0 – 5,0 µm, merkuri-kadmium-telurida (HgCdTe) yang
peka untuk wilayah panjang gelombang8 – 14 µm. Lillesand et al. (2008)
menyebutkan bahwa untuk wilayah panjang gelombang antara 3 sampai 14 µm
terdapat tiga macam detector yang banyak digunakan, yaitu mercury-doped
germanium (Ge;Hg) untuk spketrum 3-14 µm, indium antimonida (InSb) untuk
wilayah 3-5 µm, dan merkuri-kadmium telurida (MCT atau HgCdTe, dan
kadang kala disebut sebagai trimetal) untuk wilayah 8-14 µm.
Apabila
suatu sistem sensor dirancang untuk beroperasi pada julat panjang
gelombang biru hingga inframerah termal maka ketiga macam detektor
tersebut perlu digunakan.akan tetapi, untuk beroperasi normal, detektor
InSb dan HgCdTe harus didinginkan pada temperature nitrogen cair (yaitu
sekitar 77 K). pendinginan ini relative lebih mudah dilakukan pada
pemisahan dengan lensa dikhroik ataupun prisma, yang biasanya bekerja
dengan skaner whiskbroom.kemudahan atau kesulitas yang relative rendah
muncul karena skaner whiskbroom sebenaranya bertumpu pada kinerja satu
detektor (kadang-kadang lebih,tetapi hanya terbatas sampai sekitar 6
buah, seperti halnya pada sensor-sensor Landsat) untuk setiap berkas
spektrum sinar hasil pemisahan atau setiap saluran spectral. Pada skaner
pushbroom, kesulitan muncul karena terdapat sederet detektor yang
jumlahnya dapat mencapai ribuan, seperti misalanya pada detektor HRV
SPOT 1-3 yang mencapai 3000 buah untuk setiap saluran multispketral dan
6000 buah untuk saluran pankromatik untuk tiap saluran spketral dapat
didinginkan bersama-sama.
Penggunaan
filter transmisi memberikan efek yang berbeda dengan lensa dikhroik
maupun prisma. Filter ini menyaring atau menapis sinyal sehingga
apabila suatu sistem memerlukan beberapa saluran spectral maka penapisan
terjadi beberapa kali. Hal ini menyebabkan terjadi penundaan waktu
(time delay) deteksi perekaman. Disatu sisi sistem ini memberikan
kemudahan pada penggunaan deret linier detektor, tetapi disisi lain
hanya sejumlah kecil saluran saluran spektral yang dapat dioperasikan
karena penambahan jumlah saluran spektral berakibat langsung pada
peningkatan dalam hal penundaan waktu.
Sistem
sensor HRV SPOOT 1-3 merupakan contoh skaner deret linier yang
menggunakan filter transmisi dan hanya mampu mengoperasikan sejumlah
kecil saluran spektral bila dibandingkan dengan sensor TM Landsat.
Meskipun demikian, bukan berarti penggunaan prisma tidak menghadapi
kendala. Vincent (1997) menjelaskan bahwa sinyal yang merupakan hasil
dispersi melalui prisma pada umumnya lebih lemah dan memerlukan
amplifikasi elektronik lebih dibandingkan dengan sistem yang lain.
Gambar 3.11 cara kerja whiskbroom multispectral scanner( sumber: james, 2005)
Lillesand
et al.(2008) menunjukan bahwa sensor multispectral scanner secara
efisien menunakan kombinasi lensa dikhronik dan prisma . mula-mula
berkas cahaya yan masuk dipisahkan denan lensa dikhronik sehina panjan
elomban yan besar (emisi/termal) diteruskan dan diterima oleh detektor,
sendankan panjan elomban yan lebih pendek dipantulkan kearah sebidan
prisma. Prisma in emudian mendeskripsikan berkas pantulan itu menjadi
beberapa pantulan spektral panjan yan lebih sempit dan di terimah oleh
sederet detektor. Seluruh detektor kemudian menirimkan sinyal itu penuat
( amplifer) elektronik dan selanjutnya direkam oleh media manetik (lihat gambar 3.11)
3.4 SISTEM PENINDRAAN JAUH
Satelit
tak berawan sebaai wahana penyebb informasi dipermukaan bumu mulai
berkemban sejak awal tahun 60an. Aplikasi utamanya adalah dibidan
kemiliteran. Baru pada awal decade 70an, satelit yan tak berawak
diluncurkan untuk penamatan sumberdaya bumi , yaitu ERTS-1. Peluncuran
ini diikuti oleh pelunuran satelit sumberdaya lain dan ju penimbanan
sistem penolahan datanya. Boleh dikata mulai saat itulah teknoloi
dibidan penolahan citra dikembanan secara lebih serius.
Berdasarkan
misinya, satelit penginraan jauh dapat di kelompokan menjadi dua macam
yaitu sateli cuaca dan satelit sumberdaya. Penelompokan lain berdasarkan
cara penorbitannya. Kelompok pertama disebut geostasioner karena
diorbitkan pada ketinian lebih kuran 36.000km diatas bumi pada posisi
geostasioner. Pada ketinggian ini gravitasi dan sentrifugal bumi lebih
kurang sebanding sengga satelit yang ditempatkan disana tidak tertarik
kebumi ataupun terlempar keluar orbit. Pada umumnya satelit cuaca
merupakan satelit geostasioner, misalnya Goes dan Gms. Pada posisi diam
( yang sebenarnya terus bererak untuk menempati posisi relative konstan
terhadap suatu lokasi dibumi), satelit geostasioner hanya mampu merekam
wilaya yang sama terus menerus sepanjang hari, tetapi dengan liputan
yan sangangat luas. Karena posisinya relative tetap diatas permukaan
bumi, satelit jenis ini disebut singkron bumi. .
Kelompok kedua adalah satelit singkron matahari( sun-synchonos satellite).
Satelit jenis ini serin pula disebut sebagai satelir berorbit polar
karena pengorbit bumi melewati kutub , memotong arah rotasi bumi. Hampir
semua satelit sumber daya adalah termasuk satelit sinkron matahari,
misalnya lansad, SPOT, ERS, dan JERS. Satelit NOAA (Nation oceanic and
Atmospheric Administration), yan sebenarnya merupakan satelit cuaca, jua
melakukan orbit sinkron matahari.
Sesuai
dengan namanya, setelit sinkron matahari selalu bergerak, memontari
arah rotasi bumi denan melalui atau hampir melaluin kutub sehingga
hampir dapat meliputi seluruh bagian permukaan bumi. Dengan demikian
satelit ini selalu berada diatas wilayah yan sama dipermukaan bumi, pada
waktu local yan sama pula. Ketinggian orbit satelit jenis ini berkisar
dari 600km sampeai denan 1000km, jauh lebih rendah dibandinkan satelit
geostasioner. Berikut ini uraian tentang satelit sinkron matahari.
Gambar
3.12 satelit sinkron bumi denan contoh GOES dan satelit sinkron
matahari dengan contoh landsat ( modifikasi atas jennsen, 2005)
3.4.1 Sistem Landsat
Satelit
landsat milik amerika serikat, pertama kali diluncurkan pada 1972 denan
nama ERTS-1. Proyek eksperimental ini sukses dilanjutkan denan
peluncuran selanjutnya, seri kedua, tetapi dengan beraganti nama menjadi
landsat. ERST-1 pun beraganti nama menjadi Landsat 1. Seri landsat
hingga saat ini telah sampai pada Landsat – 7. Dari landsat 1 hingga
landsat 7 telah terjadi perubahan desain sensor sehinga ketujuh
satelit tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 generasi pertama (Landsat
1-3), generasi kedua ( Landsat 4 dan 5 ). Serta Venerasi ketiga
(landsat 6-7). Landsat 1 dan 2 memuat dua macam senso, yaitu RBV yang
terdiri atas 3 saluran RBV- 2, dan RBV-3 denan resolusion sampai 79m:
dan MSS7 denan resolusi spasial yang sama. Ketika sensor RBV ini
ihilankan pada satelit generasi berikutnya. Landsat 3 memuat ketiga
macam sensor tersebut, tetapi setelah terjadi penyusunan jumlah saluran
pada RBV enjadi 1 saluran tunggal beresolusi spasial 40m.
Landast
4-5 memuat dua macam sensor pula, denan mempertahankan MSSnya, tetapi
menantikan RBV dengan TM krena alas an kapabilitas. Denan demikian urutn
penomeran MSS menjadi MSSI, MSS2, MSS3 dan MSS4. Mensor TM yan mempunya
tujuan saluran dinomeri urut dari 1 sampai denan 7.operasi landsat 3
sebenarnya telah dimulai pada 1993, tetapi misi ini dengan segera gagal
karena sesat setelah diluncurkan, satelit Landsat 6 hilan yaitu pada 5
oktober 1993 ( Jensen 2005).
Amerika
serikatpun sebenarnya telah menyiapkan satelit penerusnya, melalui
undang-undang kebijakan penindraan jauh 1992, yan ditandatanani oleh
presidennya pada 28 oktober (Jensen, 2005). Denan demikian berbeda denan
sensor TM pendahuluannya yang hanya membawa tujuan saluran spektral ,
sensor landsat 7, yan disebut ETM+ ini memual 8saluran, dimna saluran 6
setelah dinaikan resolusi spasialnya dari 120 meter menjadi 60 meter,
dan saluran 8 merupakan saluran pankromatik denan julat panjang
gelombang antara 0,58-0,09µm.
Gambar 3.13 sensor Theamatic Mapper pada Landsat 4 dan 5 dan sensor Enhanced Thematic Mapper plus pada Landsat 7 ( sumber Jensen 2005)
Sejak
31 mei 2003, sistem sensor pada Landsat 7 ETM+ menalami kerusan berupa
kegagalan pengereksi baris pemindai. Akibat kegagalan ini, data hasil
pemindaiian pun banyak yan hilang. Melalui operasi sistem sensor yang
menampakkan moda SCL-offini, diperoleh citra digital yan menampakan
baris-baris pemindaian yan melompat-lompat. Walau upaya ini telah
banyak membantu dalam akuisi data, bagaimanapun juga sering terlihat
adanya hasil yang mengganggu penamatan visual, terutama ketika data
yang digunakan untuk mengompensasi baris-baris kosong pada tanggal
perekaman sebelumnya berbeda dalam hal posisi dan presentase liputan
awan.
3.4.2 Sistam SPOT
SPOT
adalah proyek kerja sama antara prancis, swedia, dan belgia, dibawah
koordinasi CNES , badan ruang angkasa prancis. SPOT 1 diluncurkan pada
23 februari 986 dari stasiun peluncuran di Kourou, Guyana prancis, denan
membawa dua sensor indentik yang disebut HRV( Haute Resolution Visibel,
resolusi tinggi pada spekrum tampak). Seri SPOT telah mencapai generasi
ketiga, dimana SPOT generasi pertama meliputi SPOT 1,SPOT 2 dan SPOT 3 ,
sendangkan generasi kedua telah dimulai oleh SPOT 4 (disusul SPOT 5 ),
yang memiliki desain sensor yang lebih canggi. Perubahan lain yang cukup
siknifikan adalah dihapuskannya moda pankromatik yan telah beroperasi
paa SPOT 1-3 dan digantikan dengan saluran infermerah yang dapat
beroperasi pada dua moda : 10 m dan 20 m.
Gambar 3.14 skema satelit SPOT dan muatan sensornya ( sumber : Jensen 2005)
SPOT
generasi kedua mempunyai dua macam instrument , yaitu HRVIR dan VMI.
HRVRI merupakan kependekan dari high resolution in visible spektra
tampak dan inframerah. Pada intrumen ini mode pankromatik denan
resolusi10m dihilankan dan fasilitas ini digantikan oleh kemampuan
saluran 2 (merah 0,61-0,68) untuk peroprasi pada dua moda resolusi: moda
20 m dan moda 10 m.
Table 3.1 perbandingan saluran-saluran spektral yan digunakan pada SPOT 3-4 dan 5.
Sumber: Lillesand et al., 2004
Sensor
VMI (vegetation Monitorin Intrument ) ada pulamenyebutnya sensor
independen, namun memiliki saluran spektral yan identik dengan HRVIR
dalam hai panjang gelomban yan digunakan. Perbedaan keduanya terletak
pada resolusi spasial yan digunakan, dimana VMI/VgT menggubakan resolusi
spasial 1,1km untuk keperluan pemantauan vegetasi global. SPOT 4 mampu
merekam ulan wilayah yan sama antara 2 hingga 26 hari sekali. Hal ini
merupakan kelebihan dibandingkan SPOT generasi pertama. Kedua macam
sensor beroperasi serentak merekam wilayah yang sama , namun dengan
resolusion yang berbeda.
SPOT
5 hadir sejak 2002 dan peroperasian bersama dengan SPOT 4 perbaikan
yang tampak pada SPOT5 meluputi penggantian sistem sensor HRVIR dengan
intrumen gand HRg ( high resolution geometric). Di sampan itu satelit
SPOT generasi ketiga ini juga diharapkan dapat membawa intrumen HRS
(high reso-lution) untuk memfasilitasi penyimpangan model elevasi
digital secara global pada resolusi 10 m.
Gambar
3.15 perbandinvan antara kenampakan citra Landasat ETM+ saluran 5 (
inframerah tengah) pada resolusi spasial 30m dengan citra SPOT 3
pankromatik pada resolusi spasial 10 m. Daerah contok : Bandara hmad
Yani dan sekitarnya. Kota Semarang.
3.4.3 Sistem NOAA
NOAA
(National Oceanic and Atmopheric Administration) adalah satelt cuaca
memiliki Amerika serikat. Berbeda halnya dengan satelit-satelit cuaca
pada umumnya NOAA mempunyai orbit polar. Selain tutupan awan satelit ini
juga memberikan inforasi yang sangat penting mengenaik liputan vegetsi
global.
Gambar 3.16 liputan satelit NOAA 17 (jansen 2005)
Satelit ini mengorbit pada ketinggian antara 833-870km, dengan inklinasi 98.7◦-98,9◦.
Dua kali sehari satelit ini melintasi ekuator yaitu pukul 07.30 dan
19.30 serta pukul 14.00 dan 02.00. lilsand et al. (2008) menyebutka
bahwa NOAA 6-8, 10-12 dan 15 mempunyai waktu lintasan ekuator pada pagi
hari yaitu pada pukul 7:30 dengan arah utara keselatan: sendangkan NOAA
7-9-11 dan 14 melintasi ekuator malam hari pada pukul 1 :30- 2:30 dini
hari dengan arah utara keselatan.
Tabel 3.2 karakteristik seri NOAA 18
Sumber: Jensen 2005
NOAA
menggunakan dua macam sensor , yaitu AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer) dan TOVS ( TIROS Operational Vertical Sounder).
AVHRR mempunyai 5 saluran pada spektrum tampak, inframerah dekat, dan
inframerah termal, dengan resolusi 1.1 kilometer untuk liputan local dan
4kilometer untuk liputan global. TOV terdiri atas ukuran inframerah
beresolusi tinggi (HIRS/2), unit pengukuran strafosfer (SSU) dan unit
penukuran gelombang pendek (MSU). Dalam konteks pengindraan jauh untuk
sumberdaya senor AVHRR lebih relevan untuk dibicarakan.
Kelima
saluran pada AVHRR-NOAA tersebut ialah saluran 1 (0.57-0.68µm), untuk
peramalan cuaca, delineasi awn, serta pemantulan salju dan es. Saluran
(0.725- 1.10µm) diunakan terutama untuk mendekteksi.Lokasi tubuh air,
pencairan es dan batu, serta vagetasi, Saluran 3 (3,55-3.93um) terutama
untuk pengukuran laut (seperti halnya saluran 4 dan 5), awan pada malam
hari, delianisasi tubuh air dan daratan, aktifitas vulkanik, serta
kebakaran hutan. Saluran 4 dan 5 (masing-masing 10.30-11.30 um dan
11.50- 12.50 um) lebih sesuai untuk pengukuran temperatur permukaan
laut, pembentukan awan siang/malam, serta deteksi kelembapan tanah.
Gambar
3.17 Kiri: citra satelit cuaca GEOS yang diproduksi oleh NOAA dengan
liputan siklon di atas Teluk Meksiko. Kanan: citra satelit NOAA-AVHRR
pada resolusi 1,1 km (local area coverage, LAC) yang telah diklasifikasi
menjadi peta penutup lahan untuk seluruh wilayah Kanada. (Sumber:
Canada Center for Remote Sensing/CCRS,tanpa tahun)
3.4.4 Sistem Satelit Pemantau Laut dan Pesisir
Sistem
satelit yang dikhususkan untuk pemanatauan luar dan pesisir (aplikasi
marin) antara lain meliputi satelit Nimbus -7 milik Amerika Serikat yang
membawa CZCS (Coastal Color Scanner); MOS (Marine Observation
Satellite) milik jepang yang membawa 3 macam instrument, yaitu MESSR,
VTIR, dan MSR; serta Sea WIFS (Sea-viewing Wide Fieldof-of View Sensor)
milik Amerika Serikat . Sensor CZCS yang dibawa oleh satelit Nimbus-7)
diluncurkan pada 1978. Misi satelit ini dikhususkan pada pemantauan
temperature dan warna perairan pantai laut, sebagai indikator kondisi
wilayah perairan yang diamati. Pada sensor ini terdapat 6 saluran
spektral, membentang dari spektrum biru hingga inframerah termal. Citra 6
saluran yang dihasilkan mempunyai resolusi spaial 825 meter pada posisi
nadir dan lebar sapuan sebesar 1566 km. Pada tabel 3.3 terlihat bahwa
empat saluran pertama pada CZCS mempunyai julat panjang gelombang yang
sangat sempit (0,02 µm) dan dipusatkan pada kemampuan untuk membedakan
pantulan air yang sangat samar. Data dari keempat saluran ini, menurut
Lillesand et al.(2008), digunakan untuk memetakan konsentrasi
fitoplankton dan material anorganik tersuspensi, seperti misalnya debu.
Saluran inframerah dekat diperlukan bagi pengenalan vegetasi permukaan
(daratan) dan pembedaan antara daratan dengan tubuh air ; sedangkan
saluran inframerah termal digunakan untuk memetakan temperatur permukaan
air laut.
Satelit MOS milik Jepang mulai diluncurkan pada 1987 dan diikuti oleh
seri ke-2, yaitu MOS-1b, yang diluncurkan pada 1990. Tiga macam sensor
yang dibawa oleh satelit ini adalah MESSR (Multispectral Electronic
Selfscanning Radiometer) yang membawa 4 saluran spektral pada wilayah
panjang gelombang yang menyerupai sensor MSS Landsat, VTIR (Visible and
Thermal Infrared Radiometer) yang membawa dua saluran gelombang mikro.
MESSR menghasilkan citra dengan resolusi spasial 50 meter untuk semua
saluran, sedangkan VTIR memberikan citra dengan resolusi spasial 900
meter untuk spektral tampak dan 2,7 km untuk spektral inframerah
termal. MSR menghasilkan citra dengan resolusi 23 km. tabel berikut ini
menyajikan spesifikasi teknis dari sensor-sensor satelit MOS.
Sea WIFS mempunyai 8 saluran yang dioperasikan melalui mekanisme
pelarikan memotong lintasan (across-track scanner), terbentang dari
0,402 hingga 0,885 µm. Sistem ini terutama dirancang untuk mendukung
studi biogeokimia, dan merupakan usaha patungan antara NASA dengan
perusahan swasta OSC (Orbital Science Corporation). Citra Sea WIFS dapat
diperoleh melalui 2 tipe data, yaitu LAC (local area coverage) dengan
resolusi 1,13 km pada nadir dan GAC (global area coverage) dengan
resolusi sekitar 4 km.
Tabel 3.3 Saluran spektral pada CZCS
Saluran
|
Panjang gelombang µm
|
Parameter utama yang diukur
|
1
|
0,43 -0,45
|
Serapan klorofil
|
2
|
0,51 -0,53
|
Serapan klorofil
|
3
|
0,54 -0,56
|
Gelbostoffe (senyawa kuning)
|
4
|
0,66 -0,68
|
Konsentrasi klorofil
|
5
|
0,70 -0,80
|
Vegetasi permukaan
|
6
|
10,50-12,50
|
Temperatur permukaan
|
Sumber: Lillesand et al. (2008)
Tabel 3.4 Instrumen yang terdapat pada satelit MOS-1 dan MOS-1b berserta spesifikasinya
Instrumen / Sensor
| |||
MESSR
|
VTIR
|
MSR
| |
Saluran
|
1. 0,51-0,59 µm
|
1. 0,50-0,70 µm
|
1. 1,26 cm
|
Spectral
|
2. 0,61-0,69 µm
|
2. 6,00-7,00 µm
|
2. 0,96 cm
|
3. 0,72- 0,80 µm
|
3. 10,50- 11,50 µm
| ||
4. 0,80-1,10 µm
|
4. 11,50-12,50µm
| ||
Resolusi
|
50 m
|
900 m (tampak)
|
32 km
|
Medan
|
2700 m (termal)
| ||
Lebar
sapuan
|
100 km
|
1500 km
|
317 km
|
Sumber: Lillesand et al. (2008)
3.4.5 Sistem IRS Milik India
Diawali dengan peluncuran IRS-A (Indian Remote Sensing Satellite-A)
pada 17 maret 1988, india telah masuk ke dalam daftar Negara pemilik
satelit penginderaan jauh komersial. Pada tahun 2000, seri IRS ini telah
dilanjutkan hingga IRS-D. Satelit IRS-A dan 1B mengorbit secara sinkron
matahari pada ketinggian sekitar 904 km. IRS-1A dan 1B mempunyai
resolusi temporal 22 hari, sementara IRS-1C dan 1D mengunjungi wilayah
yang sama setiap 24 hari melalui moda perekaman normal (vertikal). IRS
melewati wilayah ekuator pada pukul 10.25 pagi, secara descending, yaitu
melintas dari selatan ke utara. Satelit ini dilengkapi dengan 3 macam
sensor, meskipun masing-masing sensor mengalami perkembangan dalam
karakteristiknya. IRS-1A dan 1B mempunyai dua macam sensor, sedangkan
IRS-1C dan 1D dilengkapi dengan sensor ketiga yang tidak terdapat pada
satelit pendahuluanya. Ketiga macam sensor itu ialah:
1. LISS
(Linear Self-scanning Sensors), yaitu sistem sensor yang merekam secara
along track sanning (sepanjang lintasan) pada empat saluran spectral.
Sensor LISS ini mengalami pekembangan versi samapi tiga kali, di mana
LISS-I dan II merekam pada wilayah spektral yang sama, namun berbeda
dalam hal liputan medan dan resolusi spasialnya. Lebar sapuan sensor
LISS-I ini adalah 148 km, sedangkan LISS-II merekam pasangan jalur
dengan pertampalan (overlap) 74 km antar dua jalur sehingga empat citra
LISS-I meliputi satu citra LISS-I. LISS-III yang dibawa oleh satelit
IRS-1C dilengkapi dengan 4 saluran spektral, dimana saluran 1-3
memberikan citra dengan resolusi spasial 23,5 meter, sedangkan saluran 4
memberikan citra dengan resolusi 70 meter.
2. Sensor
Pankromatrik, yang merekam pada satu julat panjang gelombang yang lebar
(0,50-0,75 µm) dengan resolusi spasial 5,8 meter. Sensor ini dapat
diatur kemiringannya sehingga medan pandang dapat dibelokkan ke samping
hingga 26. Dengan cara ini, perekaman ulang wilayah yang sama dapat
diperpendek menjadi hari. Lebar sapuan sensor pankromatik ini ialah
sebesar 70 km.
3. WiFS
(Wide Field Sensor) merekam dua citra pada spektral tampak dan
inframerah dekat, dengan lebar sapuan sebesar 810 km dan resolusi
spasial 188,3 meter.
IRS-P3 dan P-4
IRS-P3
mempunyai sensor WiFS yang serupa dengan WiFS pada IRS-1D, kecuali
dalam hal saluran tambahan pada wilayah inframerah tengah (1,5-1,70 µm).
IRS-P3 juga mempunyai sensor MOS (Modular Optoelectronic Scanner) yang
mampu mengumpulkan data pada tiga macam resolusi spasial, masing-masing
adalah A(1569 x 1395 m), B (523 x 523 m) dan C (523 x 644 m); dimana
saluran A mempunyai kisaran spektral 0,755-0,768 µm, B berkisar antara
0,408-1,01 µm, dan C pada 1,5-1,7 µm. IRS-4 ditunjukan untuk aplikasi
kelautan dengan didukung oleh sensor OCM (Ocean Colour Monitoring) yang
terdiri atas 8 saluran pada julat antara 0,402 hingga 0,885 µm dan
resolusi spasial 360 x 236 m, dan pada tingkat bit-coding 12 bit.
Disamping itu, satelit IRS-P4 juga membawa sensor gelombang mikro
multifrekuensi yang disebut MSMR (Multifrequency Scanning Microwave
Radiometer).
IRS-P5 (Cartostal-I) dan IRS-P6 (Resourcesat-I)
Cartostal-I
mengorbit pada ketinggian 618 km, bersifat polar, dan mampu
menyelesaikan satu siklus perekaman global dalam 1.867 orbit atau dalam
126 hari. Satelit ini mempunyai dua kamera pankromatik yang beroperasi
pada spectrum merah hingga inframerah dekat (0,5-0,85 µm) dan
menghasilkan citra pada resolusi spasial 2,5 x2,5 m sehingga cocok untuk
aplikasi pemetaan pada skala besar. Kedua sensor ini mampu menghasilkan
citra stereoskopis melalui mekanisme perekaman mendongak (miring ke
arah depan sebesar 26) oleh satu sensor dan menungging (miring ke arah
belakang sebesar -5) oleh sensor yang lain. Setiap kamera menggunakan
deret linier berisi 12.000 detektor dan dengan lebar sapuan 26 km.
Kedua kamera dapat dioperasiakn untuk memperoleh citra pankromatik yang
berdampingan dengan liputan 55 km.
Resourcesat-I
mengorbit secara polar pada ketinggian 817 km serta membawa tiga macam
sensor, yaitu LISS-III, LISS-IV, dan aWiFS. Sensor LISS-III hampir
identik dengan LISS-III pada IRS-1C dan 1D, sedangkan LISS-IV mempunyai
jumlah dan lebar saluran spektral yang sama persis dengan LISS-III,
namun dengan resolusi spasial sebesar 5,8 x5,8 m. Dengan moda
multispektral, sensor ini dapat menghasilkan citra selebar 23 km,
sementara pada moda pankromatik lebar sapuan dapat ditingkatkan hingga
70 km. kemampuan merekam ulang mencapai 5 hari sekali AWiFS merupakan
versi perbaiakn dari sensor WiFS yang terpasang pada IRS-1C dan 1D.
Resolusi spasial citra yang dihasilkan adalah sebesar 56 x56 m dan lebar
sapuannya adalah 740 km.
Tabel 3.5 karakteristik utama sensor-sensor yang terpasang pada IRS.
IRS-1A dan 1B
|
IRS-1C dan 1D
| |||||
saluran²
LISS-I dan
LISS-II
|
Resolusi
spektral
(µm)
|
Resolusi
spasial (m) di
nadir
|
saluran²
LISS-III, pan
dan WiFS
|
Resolusi
spektral
(µm)
|
Resolusi
spasial (m) di
| |
nadir
| ||||||
1
|
0,45-0,52
|
LISS-I 72,5 m
|
1
| |||
LISS-II 36,25 m
| ||||||
2
|
0,52-0,59
|
LISS-I 72,5 m
|
2
|
0,52-0,59
|
23,5 x 23,5
| |
LISS-II 36,25 m
| ||||||
3
|
0,62-0,68
|
LISS-I 72,5 m
|
3
|
23,5 x 23,5
| ||
LISS-II 36,25 m
| ||||||
4
|
4
|
0,77-0,86
|
23,5 x 23,5
| |||
LISS-I 72,5 m
|
5
|
1,55-1,70
|
70,5 x 70,5
| |||
0,77-0,86
|
LISS-II 36,25 m
|
Pan
|
5,2 x 5,2
| |||
WiFS 1
|
188 x188
| |||||
WiFS 2
|
188 x188
| |||||
Sensor
|
Pushbroom, deret linier
|
Pushbroom, deret linier
| ||||
Lebar sapuan
|
LISS-I: 148 km
|
LISS-III:141 km untuk saluran 2,3 dan 4; 148 km
untuk saluran 5. pan = 70 km, WiFS = 692 km
| ||||
LISS-II: 146 km
| ||||||
Orbit
|
904 km, sinkron matahari
|
817 km, sinkron matahari
Inklinasi 98,69◦, melintasi ekuator pukul 10.30 pagi
±5 menit
| ||||
Inklinasi 99,5◦,melintasi sekuator
| ||||||
pukul 10.26 pagi
| ||||||
Peluncuran
|
IRS-IA:17 Maret 1988
IRS-1B: 29 Agustus 1991
|
IRS-1C:1995
| ||||
IRS-1D: September 1997
| ||||||
Revisit
|
22 hari di ekuator
|
LISS-III:24 hari di ekuator, pan 5 hari±26◦
pandangan menyamping, WiFS 5 hari di ekuator
|
Sumber: Jensen(2007)
3.4.6 Sistem Satelit Multimisi: Terra dan Aqua
NASA Earth Observing System mengembangkan satelit Terra dan Aqua
sebagai bagian dari upaya mengumpulkan informasi melalui observasi
komprehensif secara global (Aronoff,2005). NASA bekerja sama dengan
Kementrian Perdaganagan dan Industri Jepang (MITI) mengembangkan system
sensor yang kemudian dipasang pada satelit multimisi Terra.
Satelit ini mengusung empat macam sensor yaitu, ASTER (Advanced
Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer), MODIS (Moderate
Resolution Imaging Spectrometer), CERES, dan MISR, ASTER dibuat oleh
jepang, sementara MODIS, CERES dan MISR dibuat oleh Amerika Serikat.
Satelit Aqua merupakan ‘saudara kembar’ Terra, yang tidak mengusung
sensor ASTER. Terra melintasi ekuator pada pukul 10.30 pagi dan
dirancang untuk merekam gambaran bumi pada siang hari, sedangkan Aqua
melintas ekuator pada pukul 13,30 siang, dan juga dirancang untuk
memperoleh informasi permukaan bumi pada malam hari. Keduanya mengorbit
sinkron matahari.
Sensor ASTER
Sensor
ASTER merupakan salah satu alternative untuk kajian pada resolusi
menegah disamping Landsat dan SPOT, apalagi ketika hingga saat ini
Landsat 7 ETM+tetap mengalami kerusakan dan beroperasi dengan
moda SLC-off, sedangkan pemerintah Amerika Serikat belum mempunyai
rencana untuk mengembangkan sistem lanjutannya. Sensor ASTER mempunyai
tiga modul subsistem multispektral yang berbeda, masing-masing adalah
VNIR (Visible and Near Infrared), SWIR (Shortwave Infrared), dan TIR
(Thermal Infrared).
Seperti tersaji pada tabel 3.6 ketiga modul pada sensor ASTER
menggunakan teknologi yang berbeda-beda, khususnya untuk skaner dan
detektoernya. Modul VNIR dan SWIR sama-sama menggunakan pushbroom
scanner seperti pada SPOT, meskipun tidak sama persis (lihat subbab
3.3.2 yang mengacau pada uraian Vincent,1997), sementara modul TIR
menggunakan teknologi whiskbroom seperti pada Landsat TM dan ETM+.
Semakin panjang gelombang yang digunakn, semakin rendah resolusi spasial
SWIR setara dengan milik Landsat ETM+, yaitu 30 m. Modul TIR hanya
mampu menghasilkan resolusi spasial sebesar 90 m, lebih rendah daripada
saluran inframerah termal Landsat ETM+ yang sebesar 60 m.
Salah satu keunggulan ASTER adalah kemampuan menghasilkan citra tiga
dimensi dan model elevasi digital (DEM) dengan menggabungkan citra
saluran 3N (NVIR) yang merekam nadir dan 3B yang merekam miring
kebelakang. Karena model elevasi ini merupakan penutup lahan makan model
yang dihasilkan lebih tepat disebut digital surface model (DSM).
Mekanis memperekaman stereoskopis melalui perekaman beda waktu
(across-track stereo mode) seperti yang dilakukan oleh SPOT. Perekaman
yang menghasilkan model stereoskopis dari dua citra berbeda jalur
lintasan sering terkendala oleh perbedaan reflektansi permukaan
(Mather,2004). Welch et al (1998) dan Lang dan Welch (1999) melaporkan
bahwa root mean square error (RMSE) pengukuran elevasi melalui model
stereoskopis ASTER mencapai 12-30 m, diukur pada sepasang citra dari
saluran 3N dan 3B yang mengalami koregistrasi dengan RMSE 0,5 hingga 1,0
piksel.
Tabel 3.6 Karakteristik sensor ASTER pada satelit Terra
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER)
| |||||
Saluran
|
Resolusi
spektral VNIR
(µm)
|
Saluran
|
Resolusi
spektral SWIR
(µm)
|
Saluran
|
Resolusi spektral
TIR (µm)
|
1 (nadir)
|
0,52-0,60
|
4
|
1,600-1,700
|
10
|
8,125-8,475
|
2 (nadir)
|
0,63-0,69
|
5
|
2,145-2,185
|
11
|
8,475-8,825
|
3N (nadir)
|
0,76-0,86
|
6
|
2,185-2,225
|
12
|
8,925-9,275
|
3B (backward)
|
0,76-0,86
|
7
|
2,235-2,285
|
13
|
10,25-10,95
|
8
|
2,295-2,365
|
14
|
10,95-11,64
| ||
9
|
2,360-2,430
| ||||
Teknologi
|
pushbroom
|
pushbroom
|
Pushbroom
| ||
Detector
|
Si
|
PISi:Si
|
Hg:Cd:Te
| ||
Res.spasial
|
15 x 15 m
|
30 x 30 m
|
90 x 90 m
| ||
Lebar sapuan
|
60 km
|
60 km
|
60 km
| ||
Kuantisasi
|
8 bit
|
8 bit
|
12 bit
|
Sumber : Mather (2004), Jensen (2007)
Sensor MODIS
MODIS
merupakan sensor dengan mekanisme pemindaian melintang arah gerak orbit
(across-track scanning). Sensor ini terpasang pada satelit Terra dan
aqua,dan dirancang untuk mngukur sifat-sifat fisik atmosfer serta
sifat-sifat fisik daratan dan lautan. MODIS juga dirancang sedemikian
rupa sehingga mampu membagun rekaman data secara kontinu seperti yang
telah dilakukan oleh pendahulunya,misalnya AVHRR NOAA yang telah
diluncurkan sejak 1979. Meskipun demikian, MODIS mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan teknologi AVHRR yang relatif kuno,misalnya dalam
hal resolusi spasial,kepekaan radiometer,rektifikasi geometri,serta
kalibrasi radiometri yang lebih akurat (Aronoff,2005). Lebih dari itu,
MODIS dapat diperoleh secara gratis dari dari satelitnya langsung,
ataupun diunduh dari Internet. Dengan lebar sapuan 2.330 km, MODIS mampu
meliputi seluruh permukaan bumi dalam satu-dua hari, dan menyajikannya
dalam 36 saluran spectral, berkisar dari 0,46 hingga 14,38 um. MODIS
juga memberikan informasi dalam resolusi spasial yang bervariasi, dari
250 m hingga 1 km. Tabel 3.7 menyajikan rincian setiap saluran spektral
pada MODIS.
Tabel 3.7 Rincian tiap saluran spektral pada sensor MODIS yang dipasang pada satelit Terra dan Aqua
Saluran
|
Saluran spectral
|
Resolusi
Spasial
|
Pemanfaatan saluran
|
Spectral
|
(µm)
| ||
1
|
0,620-0,670
|
250 x 250 m
|
Klasifikasi penutup lahan, deteksi serapan
klorofil, pemetaan indeks luas liputan daun (LAI)
|
2
|
0,841-0,876
| ||
3
|
0,545-0,479
| ||
4
|
0,545-0,565
| ||
5
|
1,230-1,250
| ||
6
|
1,628-1,652
|
500 x 500 m
|
Studi sifat-sifat daratan,awan, dan aerosol
|
7
|
2,105-2,155
| ||
8
|
0,405-0,420
| ||
9
|
0,438-0,448
| ||
10
|
0,483-0,493
| ||
11
|
0,526-0,536
| ||
12
|
0,546-0,556
| ||
13
|
0,662-0,672
| ||
14
|
0,673-0,683
|
1 x1 km
|
Studi warna perairan laut fitoplankton, biogeokimia
|
15
|
0,743-0,753
| ||
16
|
0,862-0,877
| ||
17
|
0,890-0,920
|
1 x1 km
|
Studi uap air di atmosfer
|
18
|
0,931-0,941
| ||
19
|
0,915-0,965
| ||
20
|
3,600-3,840
|
1 x1 km
| |
21
|
3,929-3,989
|
Pengukuran temperatur permukaan daratan dan
| |
22
|
3,929-3,989
|
permukaan awan
| |
23
|
4,020-4,080
| ||
24
|
4,433-4,498
|
1 x1 km
|
Pengukuran temperatur atmosfer
|
25
|
4,482-4,549
| ||
26
|
1,360-1,390
|
1 x1 km
|
Studi awan Cirrus
|
27
|
6,535-6,895
| ||
28
|
7,715-7,475
|
1 x1 km
|
Studi uap air
|
29
|
8,400-8,700
| ||
30
|
9,580-9,880
|
1 x1 km
|
Studi ozon
|
31
|
10,780-11,280
|
1 x1 km
|
Pengukuran temperatur permukaan daratan dan
|
32
|
11,70-12,270
|
permukaan awan
| |
33
|
13,185-13,485
|
1 x1 km
|
Mengukur dan mengkaji ketinggian puncak awan
|
34
|
13,485-13,785
| ||
35
|
13,785-14,085
| ||
36
|
14,085-14,385
|
Sumber : Mather (2004), Aronoff (2005), Jensen (2007)
3.4.7 Sistem Satelit ALOS
ALOS
(Advanced Land Observing Satellite) merupakan system satelit sumberdaya
milik jepang, yang diluncurkan oleh Badan Eksplorasi Udara dan Ruang
Angkasa Jepang (Japan Aerospace Exploration Agency, atau JAXA). ALOS
diluncurkan pada 26 Januari 2006, dan dirancang untuk beroperasi selama
3-5 tahun (RESTEC,2010). Sistem ALOS terdiri dari tiga modul sensor,
yaitu PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping)
dengan resolusi spasial 2.5 meter; AVNIR-2 (Advanced Visible and
Near-InfraRed Type-2) beresolusi spasial 10 meter; dan PALSAR (Phased
Array Type-L Synthetic Aperture Radar) dengan resolusi spasial berkisar
antara 10-100 meter. Spesifikasi teknik ALOS tersaji pada tabel 3.8.
Sensor
PRISM merupakan sistem yang mampu menghasilkan citra resolusi tinggi di
wilayah spektrum pankromatik. Pembahasan lebih detail diberikan pada
Subab 3.4.8. Sensor ini mempunyai 3 modul optic independen untuk
pengamatan miring ke depan (forward), tegak lurus ke bawah (nadir), dan
mirirng ke belakang (backward). Seperti halnya ASTER yang mampu merekam
secara nadir dan backward, PRISM mam-pu menghasilkan citra stereoskopik
dan menurunkan data model permukaan digital (digital surface model).
Sensor AVNIR-2 terdiri dari saluran-saluran tampak (biru,hijau,merah)
dan inframerah dekat dengan resolusi spasial cukup tinggi,setara dengan
resolusi spasial yang dimiliki sensor HRVIR SPOT-5, yaitu 10 meter.
Bersama dengan citra PRISM, citra multispektral AVNIR-2 dapat
dikombinasikan untuk menurunkan pansharpened colour composit dengan
ukuran piksel 2,5 meter (RESTEC,2010).
Sensor
PALSAR beroperasi dengan wilayah spekral L-band, yaitu pada kisaran
frekuensi 1,27 GHz dan melanjutkan misi synthetic Aperture Radar (SAR)
yang terpasang pada satelit JERS-1 (Japanse Earth Resources Satellite –
1), tetapi dilengkapi dengan beberapa perbaikan. PALSAR beroperasi pada
dua moda, yaitu (a) resolusi spasial tinggi (10 meter) dan lebar sapuan
70 km, dan (b) ScanSAR, yang mempunyai lebar sapuan resolusi sekitar 250
– 350 km, tergantung pada jumlah pemindaian. PALSAR pada resolusi
spasial tinggi ditujukan untuk memperoleh informasi dari liputan secara
regional dan interferometry melalui perekaman berulang (repeat pass
interferometry); sementara lebar sapuan Scan SAR dikembangkan terutama
untuk pemantauan liputan es di laut dan hujan tropis (Gao,2009).
Tanggal pelucuran
|
24 Januari 2006
|
Rancangan
|
3-5 tahun
|
lama/umur operasi
| |
Berat wahana dan
|
Sekitar 4 ton
|
muatan
| |
Orbit
|
Orbit sinkron matahari, dengan ketinggian691 km
|
Sensor:
| |
(1) PRISM
|
mempunyai 3 sistem optik Independen
|
untuk merekam data medan,dengan resolusi spasial 2,5 m
| |
(2) AVNIR-2
|
Terdiri dari empat saluran : biru,hijau,merah dan inframerah dekat; masing-masing dengan resolusi spasial 10 meter
|
(3) PALSAR
|
Sensor radar yang dapat merekam data pada
|
siang dan malam hari, pada kondisi
| |
cuaca apapun; dengan resolusi spasial 10-100 meter
|
Gambar 3.18 karakteristik umum satelit ALOS-I (Sumber: RESTEC,2010, dengan perubahan
3.4.8 Sistem satelit dengan resolusi spasial tinggi
Pada
1994 pemerintah Amerika serikat mengambil keputusan untuk mengizinkan
perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh
resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen,1996) . Seteleh itu ,
Earth Watch Inc., suatu perusahaan swasta yang bergerak di bidang
system kajian sumberdaya, merencanakan pengembangan dua system
resolusi tinggi, yaitu EarlyBird dan QuicBird. EarlyBird di luncurkan
pada 1997 dengan citra pankromatik beresolusi 3 meter dan citra dan
citra multispectral beresolusi 15 meter serta lebar sapuan (swath width)
15 km. QuicBird -1 yang di luncurkan pada 1999 mampu memberikan citra
dari dua sensor dengan dua macam resolusi dari ketinggian orbit 600 km,
yaitu 4 meter untuk citra multispectral dan 1 meter untuk citra
pankromatik. Sensor multispectral terdiri dari salura biru (0,45-0,52
µm), hijau (0,52-0,60 µm), merah (0,63-0,69 µm), dan inframerah dekat
(0,76-0,89 µm); sedangkan sensor pankromatik beroperasi pada julat yang
relative lebar yaitu 0,45-0,90 µm.
Tabel 3.8 Karakteristik sensor sensor pada satelit ALOS-1
SENSOR
|
PRISMA
|
AVNR-2
|
PALSAR
| |
Res.Tinggi
|
ScanSAR
| |||
Panjang gelombang µm/
|
0,52-0,77
|
0,42-0,50
|
1,27 GHz (L-band)
| |
Frekuensi (GHz)
|
0,52-0,60
| |||
0,61-0,69
| ||||
0,76-0,89
| ||||
Resolusi spasial (m)
|
2,5
|
10
|
10
|
100
|
Lebar sapuan (km)
|
35-70
|
70
|
70
|
250-350
|
Sudut pandang (°)
|
+/-24
|
+/-44
|
10-51
| |
Jumlah liputan (looks)
|
3
|
fleksibel
|
2
|
8
|
maksimal sekali rekam
| ||||
Polarisasi
|
-
|
-
|
HH,VV,HH &
|
HH,VV
|
HV, VV & VH
| ||||
Laju transmisi data (Mbps)
|
960
|
160
|
240
|
Sumber: Goa (2010), dengan perubahan
Di
samping QuicBard, satelit pencitra multispectral dengan resolusi
spasial tinggi dewasa ini ialah Ikonos milik Amerika Serikat yang mampu
memberikan data multispectral pada resolusi spasial 4 meter dan data
pankromatik pada resolusi 1 meter seperti halnya QuicBard-1. Ikonos di
rancang oleh Space Imaging suatu perusahaan swasta yang bekerja sama
dengan badan ruang angkasa Amerika Serikat, NASA, Peluncuran pertama
satelit ini yang semula di beri nama Ikonos-1 telah gagal pada April
1999. Pada September 1999 satelit penggantinya yang semula di namakan
Ikonos-2 berhasil di luncurkan. Meskipun demikian karena misi Ikonos-1
belum pernah tercapai, Ikonos-2 kemudian di namai Ikonos spesifikasi
tekhnis yang tersaji pada table 3.9.
Tabel 3.9 karakteristik system satelit resolusi tinggi QuicBard dan Ikonos
Sumber: Jensen (2007), dengan perubahan
Pada
moda multisektral , satelit Ikonos mampu menghasilkan citra dengan
kombinasi saluran menyerupai apa yang dapat di lakukan oleh sensor
Landsat TM saluran 1-4 karena memang wilayah panjang gelombangnya hamper
sama. Keunggulan citra Ikonos terletak pada resolusi spasialnya yang
jauh lebih tinggi sehingga kenampakan infrastruktur seperti jaringan
jalan dan gedung-gedung terlihat dengan jelas. Melalui fusi data antara
pankromatik (1 meter) dengan multispectral (4 meter) dapat di hasilkan
citra berwarna dengan resolusi spasial 1 meter. Citra pankromatik di
peroleh melalui perekaman pada julat panjang gelombang 0,45-0,90 µm;
sedangkan citra multispectral di hasilkan dari 4 saluran (saluran
biru,hijau,merah, dan inframerah dekat). Ikonos mengorbit pada
ketinggian 681 km dengan lebar sapuan (swath width) sebesar 11 km.
Setelah
Ikonos dan QuicBird telah hadir pula satelit-satelit pencitra resolusi
tinggi lain, misalnya OrbView milik Orbimage dan EROS-A1 milik West
Indian Space. Kehadiran system pencitra resolusi tinggi ini perlu di
amati dalam konteks pengembangan tekhnik dan metode analisi citranya
secara digital. Hal ini penting karena hingga saat ini wacana mengenai
metode-metode ekstraksi informasi otomatis dari citra resolusi spasial
tinggi belum begitu berkembang. Sedangkan promosi keunggulan citra
satelit tersebut lebih di tekankan pada kemampuannya dalam membantu
interpretasi visual atau sebagai pengganti foto udara. Pada akhir 2007
satelit penerus Quicbird telah di luncurkan yaitu WordView dengan
resolusi spasial pada spectrum pankromatik sebesar 50 cm yang merupakan
resolusi spasial tertinggi untuk satelit penginderaan jauh sipil dewasa
ini. Di samping saluran pankromatik masih ada delapan saluran
multispectral dengan resolusi spasial 2 meter. Kehadiran satelit
resolusi tinggi ini di susul oleh GeoEye dengan resolusi spasial 50 cm
juga. Meskipun sebenarnya kedua system satelit itu mampu memproduksi
citra dengan resolusi lebih halus (sekitar 40-45 cm), tetapi citra
tersebut tidak di proses dan di distribusikan secara komersial karena
adanya undang – undang di Amerika Serikat yang melarang distribusi data
dengan kerincian seperti iu.
Gambar
3.19 perbandingan detail kenampakan pada citra QuicBird saluran
3(merah) pada resolusi spasial 2,4 meter dan citra QuicBird pankromtik
pada resolusi spasial 0,61 meter. Liputan wilayah kota semarang bagian
utara. (Sumber Digital Globe/Sinclair Knight Mertz,2003)
Gambar
3.20 kenampakan lembaga pemasyarakatan (lapas) kedungpane
semarang,hasil perekaman satelit QuicBird. Citra ini telah di proses
secara pan-sharpened sehingga aslinya di sajikan berwarna(multispectral)
namun resolusi spasialnya telah di tinggkatkan menjadi 0,61 meter
melalui penggabungan dengan citra pankromatik. Perhtikan tembok dua
lapis yang mengelilingi kompleks bangunan ini.
3.4.9 Satelit dengan Sensor Gelombang Mikro: Radarsat, Almaz, ERS,JERS,dan ALOS
Satelit
dengan sensor gelombang mikro aktif yang menggunakan teknik perekaman
menyamping (Synthetic aperture radar) paling menonjol dewasa ini adalah
Radarsat milik Kanada, ERS-1 milik Eropa, dan JERS-1 milik Jepang.
Sebelum sensor radar di operasikan pada wahana satelit, percobaan telah
di lakukan secara ekstensif menggunakan pesawat udara (SLAR) dan pesawat
ulang-alik (SIR-A, SIR-B, dan SIR-C) . Uraian ekstensif mengenai system
radar ini dapat di baca pada Lillesand et al.(2008) serta Sabins
(1997).
Radarsat
pertama kali di luncurkan pada 4 November 1995. Satelit ini melakukan
liputan lengkap dalam 14 orbit sehari secara sinkron matahari. Resolusi
temporalnya ialah 6 hari. Salah satu misi utama dari peluncuran satelit
ini telah memantau kondisi es di Laut Arktik (dekat kutub utara) selama
periode gelap (musim dingin) dan selama kondisi medan tertutup oleh
awan. Sensor yang terpasang mampu menyapu selebar 500 km. sensor ini di
sebut dengan ScanSAR, dengan kemampuan menghasilkan citra pada dua
ekstrem kerincian : dari format lebar (wide format/full swath wide)
berukuran 500x500 km² hingga format kecil (fine format) berukuran 50x50
km².
Almaz
merupakan satelit bersensor radar milik Rusia yang di luncurkan pada 31
Maret 1991. Sensor Almaz bekerja seperti system SLAR pada pesawat udara
yang merekam citra pada film holografi , yang kemudian di konversi ke
film citra.
Gambar 3.21 gambar satelit ERS-1 milik Eropa dan JERS-1 milik Jepang. Keduanya memuat sensor gelombang mikro aktif (radar)
ERS-1
merupakan satelit milik Eropa (European Remote-sensing Satelite) yang
mengoperasikan beberapa sensor,antara lain SAR(Synthetic aperture radar)
dan ATSR (along-track scanning radiometer) SAR pada ERS-1 beroperasi
dengan polarisasi VV (vertical pada energy datang ,vertical pada energy
pantul) melalui antenna SAE berukuran 10x1 meter dan dengan sudut
depresi yang curam(67 º), untuk mendukung aplikasi oseanografi
(Sabins,1997). Dari ketinggian orbit 785 km, citra radar yang di
hasilkan oleh ERS-1 ini mempunyai resolusi spasial 30 meter dengan lebar
sapuan 100 km.
Gambar
3.22 contoh kenampakan citra radar hasil perekaman hasil sensor PALSAR
pada satelit ALOS-1 milik Jepang. Perekaman dengan mengirim dan menerima
sinyal terpolarisasi horizontal (HH) dan penerimaan sinyal
terpolarisasi horizontal dengan penerimaan sinyal terpolarisasi vertical
(HV) bias memberikan kenampakan yang berbeda (Sumber Isoguchi,2009)
ATRS
pada ERS-1 beroperasi pada gelombang inframerah pantulan dan termal.
Yaitu saluran 1a (inframerah tengah dengan panjang gelombang berpusat di
3,7 µm dan lebar 0,38 µm), saluran 1b ( shortwave infrared, panjang
gelombang berpusat di 1,6 µm dan lebar panjang gelombang 0,06 µm) salura
2 (inframerah termal berpusat di 10,85 µm dengan lebar 0,9 µm) dan
saluran 3 ( inframerah termal berpusat di 12,0 µm dan lebar 1,0 µm).
resolusi spasial citra yang di hasilkan oleh system ini ialah 1 km.
JERS-1
merupakan satelit sumberdaya yang mengoperasikan sensor radar
bersama-sama dengan sensor optik. Sensor radar aktif (SAR) ini
beroperasi dengan sudut depresi sebesar 55 , yang besarnya di antara SIR-A(40 ) dan ERS-1(67 .
Resolusi spasial yang di hasilkan ialah 25 meter, dengan luas liputan
75km x 75km. sensor optic (OPS-1/VNIR) pada JERS-1 memuat saluran tampak
dan inframerah pantulan , dengan liputan medan seluas 75 km x 75 km.
jumlah saluran optiknya ada 7 buah dengan resolusi spasial 20 meter
terbentang dari spectrum hijau (0,52-0,60 µm),
merah (0,63-0,69 µm), inframerah dekat (0,76-0,86 µm), infrmerah
tengah (1,60-1,71 µm), inframerah tengah II (2,01-2,12 µm), inframerah
tengah III (2,13-2,25 µm), dan inframerah tengah IV (2,27-2,40 µm).Misi
JERS ini kemudian di lanjutkan dengan missi ALOS, yang memuat tiga modul
sensor, yaitu PRISM(pankromatik), dan AVNIR-2 (multispectral), dan
PALSAR (radar).
Radar Interferometri
Penggunaan
system SAR tidak terbatas pada pencitraan tunggal kondisi medan pada
suatu saat perekaman . Apabila SAR di terapkan untuk memperoleh citra
wilayah yang sama dari dua posisi atau waktu yang berbeda maka informasi
tiga dimensional dapat di peroleh. Melalui pencitraan radar
interferometry, analisis atas dua interferogram dapat menghasilkan
pegukuran yang sangat teliti dalam jangkauan jelajah tertentu. ,
meliputi posisi x, y dan z. presisi yang di capai bahkan di laporkan
mampu mencapai skala sub panjang gelombang (Jenseen,2007).
Gambar
3.23 Gambar A(kiri) model permukaan digital (Digital surface model,
DSM) yang di hasilkan oleh SRTM untuk wilayah Sulawesi selatan bagian
utara. Gambar B(kanan) model relief (shaded relief) yang di bangun
dengan menerapkan shadow filtering atas DSM untuk wilayah yang sama.
Pemanfaatan
interferometry SAR (IFSAR) untuk pemetaan topografi menggunakan asumsi
bahwa data atau objek yang di kumpulkan dengan menggunakan duasudut
pandang yang berbeda tidak bergerak. Dua pengukuran dapat dilakukan oleh
dua system radar yang ditempatkan pada satu wahana namun terpisah
beberapa meter,dan hal ini disebut dengan single-pass interferometry. Interferometry
dapat dilakukan dengan satu system radar yang melakukan pengukuran dari
dua posisi orbit yang berbeda (meskipun selisih jaraknya pendek), yaitu
beerbeda beberapa hari,dan disebut dengan multiple-pass interferometry.Singlepass interferometry SAR yang pertama diluncurkan oleh STRM (shuttle radar topographic mission) pada 11 Februari 2000.
Misi
dengan pesawat ulang-alik Endeavour ini menggunakan satu antenna
saluran C dan satu antenna saluran X pada suatu cekungan pada tubuh
pesawat serta satu antenna saluran C dan satu antenna saluran X yang di
pasang pada ujung semacam tiang berjarak 60 meter dari tubuh pesawat.
IFSAR dengan menggunakan saluran-saluran C dan X pada SRTM ini mampu
menghasilkan data topografi yang meliputi lebih dari 80% masa daratan di
bumi antara 60 º LU dan 56 º LS selama 11 hari, dengan resolusi
spasial 90 m dan dapat di akses melalui internet. Pada saat ini data
yang sama sudah mulai di sediakan pada resolusi yang lebih tinggi, yaitu
30 m. Gambar 3.23 dan 3.24 menunjukan contoh hasil citra untuk wilayah
Sulawesi Selatan beserta model tiga dimensinya.
Gambar 3.24 model tiga dimensi berdasarkan DSM untuk menggambarkan wilayah Sulawesi Selatan bagian utara
3.5 SISTEM SKANER MULTISPEKTRAL DENGAN PESAWAT UDARA
Sebenarnya system skaner multispectral dengan pesawat udara (airborne
multispectral scanning system) telah lebih dahulu di kembangkan dari
pada system skaner pada wahana ruang angkasa. Hingga saat ini pun
terutama untuk keperluan eksperimental, system skaner pesawat udara
masih tetap di gunakan. Richards (1993) menyebutkan tiga macam
perbedaan utama antara system skaner multispectral pesawat udara dengan
system skaner multispectral pesawat udara dengan system skaner
multispectral satelit, yaitu :
1. Volume
data yang di hasilkan oleh system pesawat udara pada umumnya jauh lebih
besar. Hal ini di sebabkan oleh jumlah saluran yang lebih banyak, yaitu
dapat mencapai 12 buah. Di samping itu, resolusi spasial yang di
hasilkan jauh lebih tinggi.
2. Medan
pandang sensor (FOV, Field of View) pada umumnya jauh lebih besar (bila
di ukur dengan derajat) karena tinggi gerbang pesawat jauh lebih rendah
daripada satelit. FOV pada system skaner pesawat terbang dapat mencapai
sekitar 70-90 sedangkan system satelit Landsat 4 dan 5, misalnya hanya sekitar 15
3. Stabilitas
kedudukan sensor pada system skaner pesawat udara pada umumnya jauh
lebih rendah. Hal ini dapat di mengerti karena gangguan stabilitas pada
pesawat udara memang lebih banyak,, yang di sebabkan oleh turbulensi
udara, angin, perbedaan tekanan udara dan sebagainya.
Sehubungan
dengan butir(c). howard (1990) menekankan kekurangan system ini pada
resolusi spasial citra yang di hasilkan karena variasi tinggi terbang
secara langsung berpengaruh terhadap variasi ukuran pikselnya . Meskipun
terdapat beberapa kekurangan dalam penggunaan system skaner pesawat
udara, sebenarnya system ini pun menawarkan beberapa keuntungan.
Pengguna dapat memilih saluran yang di inginkan untuk aplikasi tertentu.
Di samping itu, misi ini dapat di jalankan untuk memenuhi kebutuhan
spesifik yang mensyaratkan waktu perekaman, sudut liputan, tinggi
terbang, dan resolusi spasial tertentu. Berikut ini uraian singkat
mengenai beberapa system sensor skaner multispectral untuk pesawat
udara.
3.5.1 DAEDALUS AADS 1240/1260
Skaner
garis multispektral (multispectral line scanner) Daedalus AADS
1240/1260 merupakan system skaner pesawat udara yang paling banyak di
gunakan. Pada system ini terdapat 12 saluran yang dapat di operasikan
(Lihat table 3.11) dengan memilih kombinasi yang di kehendaki. Proses
pelarikan terjadi melalui mekanisme pemutaran cermin, seperti halnya
sensor MSS dan TM Landsat. Pantulan sinyal dari cermin di teruskan
melalui lensa dikhroik (dichroic lens), yaitu lensa yang dapat berfungsi
ganda: memantulkan panjang gelombang tertentu sekaligus menentuan
bagian panjang gelombang yang lain. Kedua bagian panjang gelombang ini
kemudian di terima oleh detector pada dua port sensor. Kedua pangkalan
sensor semuanya ini dapat di pasangi dengan sensor inframerah termal
(AADS 1240) atau satu pangkalan di pasangi sensor inframerah termal dan
dan satu port sisanya di pasangi sensor spectra pantulan dengan 10
saluran (AADS 1260). Sebagai alternatif, salah satu pangkalan dapat pula
di pasangi dengan sensor ultraviolet.
3.5.2 AIRBORNE THEMATIC MAPPER (ATM)
Sebelum
peluncuran Landsat –D yang membawa sensor Thematic Mapper (TM) pada
1982, banyak percobaan telah di lakukan untuk simulasi sensor tersebut
dengan Airborne Thematic Mapper(ATM). Hingga saat ini ketika data
digital TM Landsat sudah relative mudah di peroleh, sensor simulasi ini
un masih terus di gunakan untuk kepentingan eksperinmental yang lebih
sesuai dengan kebutuhan penelitian. Table 3.10 menunjukan spesifikasi
tekhnis sensor ATM, dengan resolusi spasial yang dapat di atur sesuai
dengan ketinggian terbang pesawat. Pada ketinggian 12,5 km dan IFOV 2,5
mrad dapat di hasilkan citra beresolusi spasial setara dengan citra
TM-Landsat ,yaitu 30 meter.
Tabel 3.10 saluran-saluran spektral pada ATM (sumber :Richards, 1995)
Saluran
|
Ekivalen sluran
|
Catatan
| |
julat panjang gelombang (µm)
|
pada Landsat TM
| ||
dan ETM+
| |||
1
|
0,42-0,45
| ||
2
|
0,45-0,52
|
1
| |
3
|
0,52-0,60
|
2
| |
4
|
0,605-0,625
| ||
5
|
0,63-0,69
|
3
|
FOV = 86°
|
6
|
0,695-0,75
|
IFOV = 2,5 mrad
| |
7
|
0,76-0,90
|
4
|
Dynamic range = 8 bit
|
8
|
0,91-1,05
| ||
9
|
1,55-1,75
|
5
| |
10
|
2,08-2,35
|
7
| |
11
|
8,5-13,0
|
6
|
Catatan: Saluran inframerah termal lebih lebar supaya memungkinkan IFOV yang sama dengan saluran-saluran lainnya.
3.5.3 MDA MEIS-II
Pusat
penginderaan jauh kandala (Canada center for remote sensing) telah
mengembangkan skaner berwahana pesawat udara yang memanfaatkan teknologi
linear array yang dapat digunakan untuk melarik tanpa cermin putar.
Teknologi ini sama dengan yang dikembangkan oleh CNES prancis, untuk
sensor HRV SPOT, yaitu model pushbroom scanner. Dengan teknologi ini,
suatu deretan piksel dapat dihasilkan oleh mekanisme gerakan menyapu
sepanjang lintasan orbit. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan oleh
sensor untuk berdiam sejenak (dwell time) dalam menangkap pantulan
spektral objek dapat lebih lama, tanpa mengorbankan IFOV ataupun
kemampuan bit-kodingnya. Hasilnya adalah citra dengan resolusi spasial
yang lebih tinggi daripada sensor biasa yang dioperasikan pada
ketinggian dan FOV yang sama . MEIS-II dibuat oleh MDA, yaitu perusahan
MacDonald, Dettwiler and Associates. Julat spectral sensornya berkisar
dari 0,4-1,0 µm, yang dapat dipilih dengan memasang filter tertentu pada
bagian depan lensanya. FOV dan IFOVnya berturut-turut adalah 39,66◦ dan
0,7 mrad; dengan bit-konding sebesar 8 bit, yang berarti mampu
memberikan citra dengan julat nilai 0-255.
Tabel 3.11 Saluran-saluran spectral pada Daedalus AADS 1240/1260 (Sumber: Richards, 1993)
Wilayah spektral
|
saluran
|
Julat panajng gelombang (µm)
|
Ultraviolet
|
0
|
0,32-0,38
|
Tampak mata dan Inframerah pantulan
|
1
|
0,38-0,42
|
2
|
0,42-0,45
| |
3
|
0,45-0,50
| |
4
|
0,50-0,55
| |
5
|
0,55-0,60
| |
6
|
0,60-0,65
| |
7
|
0,65-0,69
| |
8
|
0,60-0,79
| |
9
|
0,80-0,89
| |
10
|
0,92-1,10
| |
Inframerah termal
|
11
|
3,0-5,0
|
12
|
8,0-14,0
| |
FOV = 86°
| ||
IFOV = 2,5 mrad
| ||
Dynamic range- 8 bit
|
3.6 PENCITRAAN HIPERSPEKTRAL
Berbagai
penelitian lanjut dalam karakteristik spectral objek telah memberikan
kesimpulan bahwa penggunaan spectrum yang sempit ternyata mampu
menonjolkan perbedaan objek secara lebih baik bila dibandingkan dengan
penggunaan spectrum yang relative lebar, seperti yang digunakan pada
MSS dan TM-Landsat, HRV-SPOT, ataupun AVHRR-NOAA. Meskipun demikian,
pengertahuan mengenai hal ini pada awalnya belum dapat secara efisien
diaplikasikan dalam pembuatan sensor satelit yang beroperasi pada
interval yang diinginkan. Oleh karena itu, suatu system pencitraan
dengan menggunakan spectrometer dirancang, dimana julat panjang
gelombang yang diinginkan dapat diubah-ubah secara luwes (Piepen et
al,1993). Teknologi ini dapat diterapkan pada wahana udara maupun
satelit.
Gambar 3.25 Konsep pencitraan hiperspektral (ENVI Tutorial, 2004; Lillesand et al., 2008)
Tekonologi
yang untuk semsentara masih dipandang belum sepenuhnya operasional ini
disebut dengan spektometri pencitraan (imaging spectrometry) karena
mampu memadulkan kemampuan menyajikan informasi spectral objek secara
kuasi-kontinu, yaitu pada interval panjang gelombang yang sangat sempit
seperti halnya spektometer, sekaligus mampu menghasilkan citra digital.
Sensor
hiperspektral mampu mengumpulkan informasi dan mengubahnya menjadi
citra dalam jumlah saluran yang sangat banyak dan sempit julatnya
(sekitar 0,01 µm), terbentang dari sepktrum tampak, inframerah dekat,
inframerah tengah, dan inframerah termal.
Keterbatasan
sistem multspektral terletak pada pemilihan informasi rata-rata pada
setiap julat spectral yang cukup lebar sehingga objek yang secara rinci
menunjukkan variasi berbeda, namun secara rata-rata menunjuukan nilai
informasi yang hampir sama tak akan dapat dibedakan secara spectral.
Lillesand et al. (2008) menegaskan bahwa saluran spectral TM Landsat
dengan lebar spektrum sekitar 0,1 µm hanya mampu membedakan objek atau
tipe material secara umum, sedangkan sistem hiperspektral berpotensi
untuk pengenalan tipe material secara rinci serta untuk estimasi
jumlahnya.
3.6.1 Pencintraan Hiperspektral dari Udara
Sistem
pencitraan hiperspektral yang termasuk paling awal dikembangkan ialah
AIS (Airborne Imaging Spectrometer). AIS mampu mengumpulkan data dalam
128 saluran spectral dengan lebar spectral rata-rata sekitar 9,3 nm
(atau 0,0093 µm). Untuk moda pohon, AIS mengumpulkan data dalam saluran
kontinu antara 0,4 sehingga 1,2 µm; sedangkan untuk modus batuan sistem
ini mengumpulkan informasi antara 1,2 hingga 2,4 µm. IFOS AIS ialah
1,9 mrad, dengan tinggi terbang sekitar 4200 meter diatas permukaan
bumi, dan mampu menghasilkan satu jalur sapuan sempit selebar 32 piksel
(AIS-1) atau 64 piksel (AIS-2). Ukuran piksel medan pada citra yang
dihasilkan ialah sekitar 8 meter (Richards, 1993; Lillesand et
al.,2008).
Selain
AIS, beberapa sistem pencitra hiperspektral yang sering digunakan ialah
CASI (Compact Airborne Spectrographic Imager) yang menggunakan deret
linier sebanyak 558 piksel untuk mengumpulkan data hingga 288 saluran
antara 0,4 hingga 0,9 µm, pada interval 0,0018 µm. jumlah pasti saluran,
lokasi, dan lebar saluran dapat diprogram selama penerbangan. IFOV
sistem CASI ini mencapai 1,2 mrad. Di samping itu, AVIRIS (Airborne
Visible-Infrared Imaging Spectrometer) juga mampu mengumpulkan 224
saluran dengan lebar interval sekitar 0,0096 µm pada saluran kontinu
dengan kisaran antara 0,40 hingga 2,45 µm. Bila dipasang pada pesawat
riset ER-2 milik NASA pada ketinggian 20 kemiri, sensor AVIRIS ini akan
mampu menghasilkan lebar sapuan 10 kemiri dan dengan resolusi medan 20
m. Richards (1994) menyajikan tabel yang menunjukan beberapa jenis
sensor hiperspektral yang digunakan untuk keperluan komersial maupun
riset pengembanagan. Gambar 3.26 menyajikan ringkasan cara kerja dan
spesifikasi AVIRIS.
Gambar
3.26 Skema cara kerja Airborne Visible Infrared Imaging Spectrometer
yang dikembangkan oleh NASA (Jensen, 2007). AVIRIS bekerja dengan skaner
whiskbroom.
3.6.2 Pencitraan Hiperspektral Melalui Satelit
Sensor
Hyperion merupakan salah satu system sensor hiperspektral yang paling
awal dipasang pada satelit, bahkan lebih dahulu daripada MERIS pada
Envisat 1. Sebenarnya satelit EO-1 (Earth Observer-1) yang diluncurkan
pada 21 November 2000 dan mengorbit pada ketinggian 705 km di atas bumi
serta mengorbit sinkron matahari mengusung sensor Hyperion ALI (Advanced
Land Imager) dan LEISA (Linear Imaging Spectrometer Array).
Hyperion
menarik untuk dibahas karena katalog perekamannya sangat mirip dengan
landsat-7. Satelit EO-1 dirancang sedemikian rupa sehingga dengan tinggi
orbit 705 km dan inklinasi 98.7◦, merekam dengan formasi menit lebih
lambat daripada landsat-7, namun pada jalur yang sama persis. Hanya
saja, lebar sapuannya lebih sempit, yaitu hanya 7,5 km melalui perekaman
melintang arah jalur orbit(across-track scanning). Dengan selisih waktu
yang hanya 1 menit ini, perbandingan anatara citra yang dihasilkan oleh
landsat -7 dan EO-1 tentu saja mudah dilakukan karena selisih waktu
tersebut cukup kecil untuk mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi
atmosfer. Tabel 3.12 menyajikan spesifikasi saluran spectral pada
satelit EO-1
Sensor
Hyperion mempunyai 220 saluran spectral berkisar dari 0,4 hingga 2,35
µm, sementara ALI mempunyai 10 saluran berkisar dari 0,4 hingga 2,4 µm.
keduanya memberikan data citra pada resolusi spasial 30 m, sama seperti
Landsat ETM+. LEISA merupakan suatu subsistem pengoreksi atmosfer
(atmospheric corrector) yang merupakan instrumen hiperspektral dengan
jumlah saluran sebanyak 256 bau pada kisaran antara 0,9 hingga 1,6 µm
pada resolusi spasial 250 m. LEISA dirancang untuk mengoreksi variasi
kandungan uap air di atmosfer.
Tabel 3.12 Spesifikasi saluran pada satelit EO-I
Saluran spektral
|
Resolusi spektral (µm)
|
Resolusi spasial (m) di nadir
|
Advanced Land Imager (ALI)
| ||
MS-1
|
0,433-0,453
|
30 x 30
|
MS-1
|
0,450-0,510
|
30 x 30
|
MS-2
|
0,525-0,605
|
30 x 30
|
MS-3
|
0,630-0,690
|
30 x 30
|
MS-4
|
0,775-0,805
|
30 x 30
|
MS-4'
|
0,845-0,890
|
30 x 30
|
MS-5'
|
1,20-1,30
|
30 x 30
|
MS-5'
|
1,55-1,75
|
30 x 30
|
MS-7
|
2,08-2,35
|
30 x 30
|
Pankromatik
|
0,480-0,690
|
10 x 10
|
Hyperion Hyperspectral Sensor
| ||
220 saluran, 0,4-2,4 µm, pada 30 x30 m
| ||
LEISA Atmospheric Corrector (LAC)
| ||
256 saluran, 0,9-1,6 µm, pada 250 x 250 m
| ||
ALI merupakan pushbroom radiometer
| ||
Hyperion merupakan pushbroom spectroradiometer
| ||
LEISA menggunakan area array
| ||
Lebar sapuan
|
ALI 37 km, Hyperion 7,5 km, LEISA 185 km
| |
Revisit
|
16 hari sekali, sama dengan Landsat-7
|
Sumber: Jensen (2007)
3.7 SISTEM PENCITRAAN SENSOR AKTIF DENGAN LASER: LIDAR
Perkembangan
teknologi sensor aktif dewasa ini semakin maju dengan kehadiran LIDAR
(Light Detection and Ranging). Pada awalnya dikembangkan pada 1960 oleh
Hughes Aircraft (Jensen,2007). Lidar merupakan teknik akusisi citra
dengan sensor aktif yang memanfaatkan berkas sinar laser (light
amplification by stimulated emission of radiation) yang dikirim dari
wahana bergerak , misalnya pesawat udara, ke permukaan bumi. Saat ini
salah satu fitur menarik dari laser ini adalah kemampuannya untuk
menghasilkan informasi profil permukaan pada dua lapisan sekaligus
misalnya profil ketinggian pepohonan dan profil permukaan tanah di bawah
pepohonan tersebut. Dengan mekanisme pemindaian maka citra tiga dimensi
dengan dua macam informasi ketinggian dapat Dihasilkan sehingga volume
lapis pepohonan pun dapat diestimasi dengan lebih akurat. Prinsip laser
ranging tersaji pada Gambar 3.27.
Gambar 3.27 Prinsip kerja laser ranging (sumber: Kerle et al., 2006) Pengendalian posisi
Dalam
suatu sistem lidar, selain sensornya sendiri terdapat differential
global positioning system (DGS) yang mampu secara akurat posisi sensor
dalam suatu sistem koordanat dan proyeksi biasanya menggunakan WGS84.
Terdapat pula suatu pengendali lain yang disebut dengan inertial
measurement unit (IMU) yang memanfaatkan gireskop untuk mengetahui
besaran roll, pitch, dan yaw pesawat.diperoses untuk menghasilkan berkas
yang berisi tentang trajektor pesawat terbang dan antenna lidar setiap
saat, yang kemudian diproses lanjut untuk memberikan informasi mengenai
posisi lintang,bujur, dan tinggi terbang ellipsoid,serta orientasi
sensor (roll,pitch, dan heading) yang diindekskan dengan waktu GPS
(Jensen 2007).
Pantulan pada lidar (Lidar Returns)
Pusat
lidar keluar dari suatu transmitter ke arah medan dibawahnya,dengan
diarahkan oleh suatu cermin yang berputar pada sudut tertentu. Pulsa
radar ini mempunyai suatu jejak laser sesaat yang dibandingkan dengan
medan pandang sesaat pada sistem multispektal pasif. Jejak laser sesaat
diukur didalam diameter tertentu tergantung pada tinggi terbang
wahananya,misalnya 30 meter.
Pada
gambar 3.28 terlihat pada pulsa A dari wahana mengenai permukaan medan
(tanah) secara langsung dan menghasilkan pantulan lidar tunggal, dimana
pantulan pertama (first return) dan pantulan akhir (last return)
pada dasarnya sama. Pulsa B wahana yang sama pada sudut yang berbeda
mengenai susunan dedaunan pepohonan bagian atas, yang menghasilkan
rekaman pantulan pertama, sisanya menembus sampai susunan dedaunan
bagian bahwa dan menghasilkan rekaman pantulan kedua,dan sisa terakakhir
menebus dedaunan tersebut serta mengenaipermukaan tanah yang
menghasilkan rekaman pantulan akhir.
Jensen (2007) menguraikan bahwa pantulan berganda (multiple return) lidar diperoleh dengan mengacu pada pantulan pertama,pantulan antara (intermediate return) yang mungkin ada,pantulan akhir, serta intensitas masing-masing. Masspoints dan
berasosiansi dengan berkas setiap pantulan terdistribusi di seluruh
bentang lahan pada berbagai kerapatan tergantung pada sudut pemidaian,
jumlah pulsa per detik yang ditransmisikan,bagian wilaya di permukaan
tanah yang sama sekali tidak memberikan pantulan lidar disebut sebagai
data voids.
Gambar 3.28 Pengumpulan data melalui data melalui sistem Lidar (Jensen, 2007)
Gambar
3.29 pantulan pada lidar, dimana satu dapat menghasilkan beberapa
pantulan (return) berdasarkan urutan waktunya (Jensen, 2007)
Perusahan
pengumpulan data lidar biasanya memberikan data lidar sesuai dengan
kebutuhan penggunaan. Sebagai contoh, suatu himpunan data bisa diberikan
dalam format ASCII yang berisi informasi pantulan sebagai berikat :
hari, koordinat x, koordinat y, dan intensitas, format ASCII sederhana
semacam ini dapat menjadi masukan bagi analisis dan evaluasi dengan
menggunakan SIG. data pantulan lidar juga biasanya diproses oleh
perusahan pengumpulan data dan dipisahkan kedalam berkas-berkas yang
masing-maing berisi tentang pantulan pertama,pantulan kedua, dan
pantulan permukaan tanah terbuka (Bare Eartsh returns).
Gambar 3.30 Pantulan berganda (multiple return pada sistem lidar dan pengukurannya (sumber: Kerle et al.,2006)
Gambar 3.31 Contoh digital surface model (DSM) hasil pencitraan melalui Lidar
(Sumber: Kerle et al., 2006)
Gambar 3.32 Hasil pencitraan Lidar, dimana first return dibedakan dari last return
(Sumber: Kerle et al., 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar